The Tears in Silence (1)

380 58 12
                                    

Semua orang selalu mengira kalau dirinya baik-baik saja, padahal dia sering menangis salam diam dan menahan semua luka di dalam hatinya. Katanya tangisan dalam diam dilakukan oleh orang-orang yang tidak ingin terlihat lemah lalu diabaikan. Dilakukan juga oleh orang tidak ingin membuat orang lain khawatir. Tetapi, alasan Skyla memilih menangis diam-diam bukan hanya itu. Alasan dia menangis diam-diam adalah tidak ada seorang pun yang memahaminya dan menangis di depan banyak orang hanya membuat masalah menjadi lebih runyam.

Untuk hari ini, sebenarnya dia ingin menangis di pusat kota sekalian. Tidak masalah kalau orang lain mengatainya gila. Namun, pada akhirnya dia hanya bisa menelan kembali raungannya. Dan dia akhirnya hanya bisa menangis sendirian. Bukan karena tidak ingin membuat orang lain khawatir karena tidak ada yang peduli padanya, tetapi karena dia sudah tidak mampu lagi membawa tubuhnya pergi dari tempat ini.

Skyla kemudian menekuk kaki dan menopang kepalanya di atas lengan. Air matanya terus meleleh, tetapi suara tangisan yang direncanakan akan dilontarkan sekeras mungkin ternyata tidak keluar. Dia kehilangan kasih sayang dari orang tuanya sejak mereka bercerai lalu menikah lagi. Kehidupan yang menyakitkan juga pernah membuatnya menyerah pada dunia. Dia pun pernah berusaha mengakhiri hidupnya. Namun, semua itu rasanya tidak sesakit sekarang. Tidak semengerikan ketika semua harapan yang disimpannya baik-baik kini terlepas dari genggaman. Entah apa yang akan dikatakannya pada Canis nanti. Ini semua memang salahnya.

"Kamu nangis sendirian lagi?"

Ketika sebuah suara terdengar, Skyla langsung berjingkat. Jantungnya yang nyaris melompat keluar dari dada kini berdebar kencang. Saat mendongak, dia menemukan sosok yang tidak asing. Pria itu kini berdiri di hadapannya. Surai hitamnya menyatu dengan pekatnya malam, sementara mata kuningnya yang mirip mata rubah itu seolah bersinar dalam gelap.

"Canis!" gumam Skyla dengan suara parau.

"Aku di sini, Skyla."

Pria itu kemudian mengulurkan satu tangan dan mengusap pipi Skyla yang basah. Tindakan spontan yang membuat Skyla langsung menghindar. Dia langsung menunduk dan mengusap air matanya dengan kedua tangan.

"Botolnya, maaf, Canis. Aku enggak tahu harus bilang apa."

"Kamu tidak perlu bilang pun, aku sudah tahu. Kamu nangis karena botolnya pecah?"

Skyla yang tidak tahu harus memberikan alasan apa hanya mengangguk. "Ini salahku."

"Jadi, menurutmu ini salah kamu?" tanya Canis.

"Iya, memangnya siapa lagi yang bisa kupersalahkan? Tidak ada, kan?" cicitnya.

"Ada, ibu tirimu misalnya. Kamu enggak harus menyalahkan dirimu sendiri untuk semua hal."

Canis kini berjongkok di dekat Skyla dan mengambil satu keping pecahan botol dari lantai. Pria itu menatap keping di tangannya tanpa berkedip. Tindakan yang membuat Skyla makin merasa bersalah.

"Kamu tahu segalanya," kata Skyla dengan suara pelan.

"Tidak semua, hanya beberapa hal kecil di dunia," kata Canis sambil bangkit berdiri. Pria itu kini menyandarkan tubuhnya di jendela.

"Termasuk aku?" Kali ini Skyla kembali mendongak.

"Ya, termasuk kamu."

"Jadi, aku enggak perlu menjelaskan soal botol-botol ini?"

"Kurasa tidak."

"Lalu, kenapa kamu datang?"

Canis kini menatap Skyla lekat-lekat. "Karena tangisanmu?"

"Apa?"

Tangisannya katanya? Maksudnya gimana sih?

"Kamu enggak salah dengar, aku datang karena suara tangisanmu yang menyedihkan. Tangisanmu terlalu pilu hingga aku tidak tahan. Telingaku sakit tahu enggak?"

My Boyfriend For TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang