Espresso for Bitter Honesty

707 86 6
                                    

Skyla mendudukkan pantat di salah satu kursi di dekat jendela. Dia sengaja memilih lokasi di samping tanaman besar karena berusaha menyembunyikan diri di sana, untuk berjaga-jaga kalau Philip mungkin melihatnya. Setelah duduk, Skyla buru-buru menarik ponsel. Jemarinya masih gemetar dan dia menarik napas berat karena jantungnya berdebar-debar di dalam dada. 

Meski begitu, pandangan matanya kini tertuju ke jalanan, mencari keberadaan Philip yang tengah berjalan berdua bersama perempuan tadi. Ketika mereka mulai mendekat, Skyla buru-buru membidikkan kamera. Tidak hanya satu jepretan, dia melakukannya berulang kali. Bahkan dia mendapatkan satu potret yang membuat napasnya tertahan. Ya, Tuhan ini mengerikan.

Matanya menatap Philip yang mulai bergerak menjauh dan sosok pria itu yang membeku di layar ponselnya. Philip yang tengah berciuman dengan perempuan itu. Skyla meneguk ludah, bagaimana kalau sampai ibunya tahu soal ini?

Jemarinya bergetar pelan dan dia hendak menekan tombol hapus, tetapi memikirkan kalau ibunya tertipu dan terjebak lebih lama dengan pria mengerikan ini membuatnya mengurungkan niat. Ibunya harus tahu soal keburukan Philip, termasuk kejadian malam itu. Skyla bersiap mengirimkan potret itu, hanya saja lagi-lagi dia urung melakukannya. Kalau ibunya tahu lalu apa?

Skyla menggigit bibir, perempuan itu tidak mungkin akan percaya padanya atau membelanya. Lagi pula, kalau ikut campur dirinya hanya akan terkena masalah. Benar, tidak ada gunanya terlibat masalah ini. Skyla baru saja hendak menekan kembali tombol hapus ketika terdengar suara langkah kaki mendekat.

 Ketika menoleh ke arah datangnya suara, pemuda berpakaian serba hitam bernama F itu bergerak mendekat dengan nampan di tangan. Pemuda itu kemudian menaruh satu cangkir kopi ke atas permukaan meja, tepat di depan Skyla. Padahal Skyla belum memesan apa pun.

"Saya belum pesan," katanya jujur.

Pemuda itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. Bibirnya bahkan tidak mengulum senyuman, sepertinya tidak mau repot beramah-tamah pada pelanggan.

"Saya juga enggak pesan espresso." Skyla melanjutkan protesnya.

"Ini servis untuk pelanggan di Signum, kamu bisa pesan apa pun setelah ini." Suara pemuda itu terdengar berat, tetapi tetap tidak terdengar ramah. Meski begitu, anehnya Skyla tidak kesal saat mendengarnya. Bukan karena kopi gratis yang mendadak diberikan, tetapi pemuda ini rasanya terlalu sulit untuk dilawan.

"Baik. Terima kasih, saya akan pesan nanti."

F hanya mengangkat kedua alisnya dan berbalik pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sementara itu, pandangan mata Skyla berpindah dari cangkir kopi di depannya lalu punggung pemuda itu. Barista kafe ini tampan dengan postur jenjang yang cocok jadi model. 

Bukan hanya memesona, pemuda itu terlihat sempurna seolah-olah Tuhan menghabiskan banyak waktu untuk mengukir wajah serta tubuhnya. Skyla bahkan yakin kalau penampakan itu sama sekali bukan manusia. Ah, mana mungkin. Sejak bertemu Canis, dia jadi jadi curiga kalau ada makhluk selain manusia yang ada di dunia.

Meski begitu, barista ini sama sekali tidak ramah, terkesan dingin dan tidak bersahabat. Mungkin ini salah satu sebabnya hingga kafe ini sepi. Tidak ada satupun pengunjung selain dirinya. Padahal tempat ini instragramable dan cocok digunakan untuk spot foto-foto. Selain itu, ada barista setampan itu di sini, tetapi tidak ada satu orang gadis pun yang tertarik mampir. Skyla mendesah, dirinya sendiri tidak ada bedanya. Dia saja mampir ke sini karena terpaksa.

Okelah kalau tidak ada pelanggan, tetapi keanehan lain adalah dia juga tidak melihat ada pegawai lain di sini, agak aneh juga kalau tempat sebesar ini diurus seorang diri. Namun, Skyla tidak ingin memikirkannya lagi. Dia menarik kopi yang diberikan pemuda itu mendekat lalu menarik gagang cangkirnya. Skyla sama sekali tidak mengerti alasan F memberikan kopi ini padanya.

Dia mengernyit, rasanya pasti akan pahit sekali. Walaupun katanya minuman ini yang paling sakral bagi masyarakat Italia hingga membuat kedai kopi di sana penuh antrean karena ingin menikmati kopi ini, Skyla tentu saja bukan salah satu orang yang akan antre ini. 

Katanya espresso jenis semesta kopi karena jenis kopi turunan espresso ini sangat enak, dia sama sekali tidak menyukainya. Namun, dia pernah dengar kalau espresso ini harus dinikmati meski hanya sekali seumur hidup. Ya, mungkin ini sekali seumur hidup.

Skyla menaruh ponselnya di meja dengan Philip dan perempuan itu masih membeku di layar ketika mengangkat gagang cangkir. Beberapa detik setelahnya, dia menyesap isi cangkir itu dan bersiap dengan rasa pahit yang menendang lidahnya. Namun, semua itu ternyata hanya prasangka. Bukan rasa pahit pekat yang dirasakannya, tetapi rasa pahit yang samar bercampur dengan rasa asam hingga ada kesan buah-buahan di dalamnya. Skyla mengerutkan kening dan mencoba lagi, mungkin semua ini hanya perasaannya, tetapi ternyata dirinya tidak salah. Kopi yang diberikan F sangat enak dan dia bahkan yakin kalau pemuda itu menyihir minuman ini hingga dia tidak keberatan untuk meminumnya lagi dan lagi.

Setelah dua kali sesapan, perhatiannya kembali teralihkan pada layar ponselnya. Ujung jarinya mengetuk permukaan meja. Hal yang dilakukan Philip ini jahat, tetapi bukan urusannya. Bagian ini benar. Ibunya juga tidak baik padanya dan tidak pernah menginginkannya ada dalam hidupnya, ini juga tidak salah. Rasanya tidak ada gunanya untuk berkorban lebih banyak demi perempuan yang tidak menginginkannya. Skyla menggigit bibir, tetapi ibunya yang terlihat begitu mencintai orang itu.

Skyla menarik napas berat, Philip jahat padanya malam itu bisa jadi alasan untuk melakukan semua ini. Ibunya harus tahu lalu biar diputuskan sendiri. Dia menekan tombol di ponselnya untuk membuka aplikasi perpesanan, menulis pesan singkat dan memasukkan potret yang didapatkannya tadi.

 Namun, kata-kata ibunya yang menginginkan anaknya di dalam perutnya memiliki keluarga yang lengkap malam itu membuatnya kembali ragu. Ah, sial, dia benar-benar ragu dan bingung untuk memutuskan.

Kelopak matanya menutup dan dia berpikir sejenak. Mencoba menyingkirkan keraguan. Perempuan itu tetaplah ibunya, orang yang melahirkan dan pernah menyayanginya di masa lalu. Mungkin dengan memberi tahu saja maka seharus tidak apa-apa daripada membiarkan ibunya larut dalam dusta. 

Ya, kejujuran memang kadang pahit tetapi harus diucapkan. Menunda kejujuran hanya akan membuat masalah lebih besar nantinya. Lagi pula, apakah baik jika dirinya tahu ibunya sedang dalam tahap menghancurkan dirinya sendiri dan dia memilih diam saja?

Jawabannya, pasti tidak. Dia tahu rasanya ketika pelan-pelan dirinya mulai hancur dan tidak ada orang di sampingnya saat itu. Dia tidak ingin ibunya mengalami hal yang sama. Kalau perempuan itu menolaknya di masa lalu, maka Skyla mungkin bisa memberikannya tempat bersandar agar tidak sendirian. Benar, akan lebih baik begitu. Skyla menekan tombol untuk mengirim pesan dan potret-potret itu kini pasti sudah masuk di ponsel ibunya.



Note:

Maaf telat banget, karena satu dan lain hal kemarin belum bisa nulisnya. Semoga enggak marah ya, selamat membaca dan semoga suka ^^

My Boyfriend For TodayWhere stories live. Discover now