Do You Remember My Name?

Start from the beginning
                                    

"Maaf katamu, memangnya itu cukup? Memangnya itu adil?" sanggahnya cepat.

Air mata mulai menggenang. Ini memang tidak adil untuknya. Aku yang bersalah atas semua kekejaman ini. Akan tetapi, Tuhan lebih tidak adil padaku. Hidupku buruk. Saat aku merasa sedikit bahagia, Tuhan malah mengambil Geralku secara tiba-tiba. Geral berpulang saat aku benar-benar belum siap kehilangan.

Aku tidak mengatakan apa pun sebagai jawaban. Pikirannku sekarang penuh. Jika pemuda ini adalah korban atas semua ini maka penjahatnya bukan aku atau dia, akan tetapi ada pelaku lain di dalam sandiwara konyol ini. Pelaku itu adalah orang yang menyeberang jalan malam itu. Orang yang membuat Geralku harus mengalami kecelakaan. Dialah yang patut orang ini persalahkan.

"Maafkan aku."

"Jangan minta maaf terus, setidaknya jelaskan alasanmu!" Suaranya menanjak naik, sepertinya benar-benar kehilangan kesabaran.

Kemarahan itu, aku bisa memahaminya. Aku juga kesal dengan semua kejadian ini. Pemuda ini boleh marah karena kehilangan tubuhnya, sementara aku kehilangan hatiku. Pemuda ini terluka dan aku juga terluka sama sepertinya. Jika aku berharap kami impas, aku tahu kalau aku sedang membodohi diriku sendiri. Dalam kekacauan ini, pemuda ini memang korban yang sesungguhnya. Dia memang tidak berdosa. Akulah yang bersalah makanya dia boleh mengutukku. Akan tetapi, salahkah aku kalau aku menggunakan tubuhnya untuk memanggil orang yang kucintai?

"Hanya sebentar," ucapku akhirnya setelah berhasil meneguk ludah untuk kesekian kali dan bisa bernapas dengan normal.

"Sebentar kata kamu, memangnya kamu mau kasih tubuh kamu ke orang lain, meski hanya sedetik saja?"

Kata-katanya benar. Pertanyaannya juga tidak salah karena jawabanku pasti sama dengannya. Namun, aku hanya akan meminjam tubuhnya selama seribu hari. Dia hanya akan kehilangan hidup selama tiga tahun. Aku berjanji akan melepaskanya lalu aku akan membayar semuanya. Aku akan membayar kesalahanku. Aku akan menebus dosaku pada pemuda ini bagaimana pun caranya. Aku ingin mengatakan semua itu, hanya saja cengkeraman di leherku sekarang benar-benar membuatku sulit bicara.

"A—ku akan lak—lakukan apa pun untukmu."

"Memangnya kamu bisa?"

"A—ku akan usaha." Aku menarik napas berat. "Se—sekuat tenaga."

"Apa kamu tahu namaku?" Suaranya parau, berat, dan juga dalam. "Apa kamu ingat?"

Apa maksudnya? Aku sama sekali tidak tahu namanya. Sial!

"Kamu enggak tahu, kan?" tudingnya.

Cengkeramannya yang semula mengendur kini kembali menguat. Aku masih menatapnya sementara kakiku memukul-mukul ranjang saat tubuhku mulai kejang.

"Kamu bahkan enggak tahu namaku, tapi bisa-bisanya kamu pinjam tubuhku tanpa izin!"

Suara degukan mengerikan keluar dari tenggorokanku. Leherku mungkin telah putus saat mataku mulai berkabut. Napas terakhir terlepas begitu mudahnya dari bibirku. Aku akan mati sekarang ini. Mati bahkan sebelum seribu hari. Aku tersengal dan membuka mata. Mataku nanar menatap kamarku yang sepi. Tidak ada siapa pun—termasuk pemuda itu.

Eh, mimpi?

Aku buru-buru bangun. Takut mimpi buruk itu akan berulang. Aku berjalan ke arah cermin. Menatap leherku dengan ngeri, tetapi tidak ada memar atau bekas cekikan. . Akan tetapi, luka kecil yang menghitam terasa panas dan berdenyut. Denyutan pelan yang seirama dengan debaran jantung bergema di dalam dada

Aku menarik napas berat dan menatap pantulan diriku di dalam cermin. Penampakanku yang menyedihkan. Wajah kusut dan lingkaran hitam di bawah mata. Piyama putihku basah oleh keringat dan sekarang menempel ketat di kulit. Rambut panjangku lengket dan basah.

"Enza!"

Aku tersentak dan menoleh takut-takut ke arah datangnya suara. Suara yang sama seperti suara pemuda yang tadi mencekikku. Aku menyentuh leher, rasa perih dan sesak itu masih terasa.

"Kamu sudah bangun?" suara Geral terdengar dari luar.

Aku masih terdiam. Benar-benar ragu untuk menjawab. Sejujurnya aku benar-benar takut untuk melihat Geral saat ini. Meski aroma kopi dan gurih masakan yang menguar memasuki hidungku mulai membuatku goyah. Apalagi ketika pintu ruangan terbuka dan menampilkan Geral dari baliknya.

"Ah, kamu sudah bangun rupanya?"

"Hai!" ucapku sambil menoleh dan buru-buru menurunkan tanganku dari leher.

"Hai juga!"

Geral kini tersenyum padaku. Pemuda itu tidak beranjak mendekat, tetapi hanya berdiri di ambang pintu dengan apron lucu bergambar kepala panda. Aku masih belum bergerak. Mata itu kini menatapku. Mata hitam yang menuntut penjelasan di dalam mimpiku. Bibir yang mungilnya mengulum senyuman yang sama. Senyuman yang sama dengan pemuda yang mencekikku. Sial, mimpi buruk tadi terlalu jelas. Memikirkan hal itu membuat bulu kudukku meremang dan keringat dingin menyembul keluar.

"Za!"

"Ya?"

"Kamu kenapa sih?" Geral kini mendekat.

Aku bergerak mundur. Tidak berani menatap wajah pemuda itu. Wajah pemuda yang menindihku dan mencekikku beberapa saat lalu. Bukan cengkeramannya yang membuatku ketakutan. Akan tetapi, ekspresi terluka itu masih terpancar di mata itu saat dia menuntut penjelasan. Sama sepertiku yang selalu meminta jawaban pada setiap hal buruk yang menimpa. Ternyata melihat hal yang pada orang lain saat aku berperan sebagai pelakunya itu menyakitkan.

"Enza!"

Aku tersentak dan menepis tangan dingin Geral saat dia menyentuhku. Geral mengerutkan kening. Dia benar-benar terlihat bingung.

"Ayolah, kita keluar sekarang!" Geral kini menarik tanganku dengan sabar.

"Geral!"

"Ya?"

Senyuman mengembang di wajahnya. Lesung pipit dalam timbul di pipinya. Geral juga memiliki lesung pipit. Ah, iya, ada jiwa Geral di dalam raga pemuda asing ini. Jiwa berharga yang kupanggil dengan susah payah. Jiwa orang yang kucintai. Aku nyaris melupakan itu. Geralku ada di dalam tubuh pemuda asing ini. Senyumannya semakin lebar kala aku menyambut tangannya. Geral melingkarkan lengan di pundakku. Membimbingku keluar.

"Kamu masak apa?"

"Cuma menu sarapan biasa. Kamu duduk dulu deh!"

Geral menarik kursi dan mempersilahkanku duduk. Mungkin benar kata Alisia kalau Geral akan kembali jadi dirinya. Lagi pula, semua yang kulihat tadi hanyalah mimpi.

"Kamu membuat ini?" tanyaku sambil menunjuk nasi goreng yang ditata dengan bentuk bunga di atas piring.

"Benar. Kamu suka?"

"Suka. Kamu masih ingat kalau aku suka bunga?"

"Tentu saja."

Geral masih berdiri di belakangku. Dia kini menjulurkan leher hingga pipinya menyentuh telingaku. Aku tersenyum dan mencoba menenangkan diriku. Aku hanya paranoid karena mimpi buruk saja. Perlakuannya yang manis ini menjadi pembuktian lain bahwa dia adalah Geralku. Mungkin aku harus mengingatkan diriku berkali-kali kalau kejadian tadi hanya mimpi.

"Enza!"

"Hmm." Aku mulai menyendok nasi goreng di piring hingga memilih untuk bergumam.

"Apa kamu ingat namaku, Za?"

Aku tersedak, nasi itu melekat di tenggorokan. Aku masih terbatuk saat tangan Geral mulai melingkari leherku. Rasa dingin mengalir dari ujung jemarinya. Kengerian mulai merayapi tulang belakangku. Napasku tertahan sementara tubuhku membeku. Aku terlalu takut untuk menoleh. Dia mungkin akan membunuhku sekarang juga dan kali ini tidak akan gagal lagi.


One Thousand DaysWhere stories live. Discover now