"Kamu yakin soal itu?"

"Tentu saja," katanya meyakinkanku. Rasanya aku sedikit tenang dengan keyakinan Alisia sekarang. "Aku jamin."

"Lalu, ada hal yang ingin kutanyakan."

"Soal apa itu?"

"Soal ini," kataku sambil membukascarf hitam yang menutupi leherku dan menaruh benda itu di pangkuanku. "Apa kamu tahu luka apa ini?"

Aku memiringkan kepalaku sedikit untuk menunjukkan satu sisi di leherku. Ujung jariku menunjuk luka yang sekarang telah meninggalkan bekas hitam menonjol di permukaan kulitku.

"Oh, luka itu," sahut Alisia dengan santai. Gadis itu bahkan sempat menyesap teh di cangkirnya.

"Iya, luka ini, Al."

Perempuan itu menarik satu alis ke atas lalu tersenyum. Sayangnya, senyuman yang terbentuk tampak tanpa emosi. Ekspresinya memang dingin walau mungkin kata-kata yang keluar dari bibirnya cukup ramah di telinga. Wajahnya yang oval dan kulitnya yang pucat dengan balutan rambut hitam panjang membuatnya bisa dikatakan cukup mengerikan daripada bersahabat. Meskipun, beberapa waktu lalu dia begitu ceria, entah kenapa dia sangat dingin hari ini. Aku bahkan yakin kalau mungkin aku sedang berbicara dengan alter ego perempuan ini. Kurasa bahkan salah satu dari dua sifat itu bukanlah sosok Alisia yang sebenarnya.

"Well, aku tahu kau akan menanyakan hal ini cepat atau lambat," tukas Alisia masih santai sambil memainkan jemarinya di permukaan cangkir.

"Maksudmu kamu tahu luka apa ini?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, bisa kamu jelaskan!" pintaku.

Aku menatap Alisia, masih menunggu penjelasan. Bersikap frontal atau mungkin memaksanya bisa berakibat buruk. Bisa jadi gadis menyebalkan itu tidak akan berbagi informasi denganku.

"Aku tidak akan menyembunyikan apa pun dan aku tidak pelit soal informasi yang mungkin kamu butuhkan," sahutnya cepat. Jawabannya seperti sedang menanggapi gagasan buruk yang berkembang di dalam benakku. Seolah-olah, Alisia bisa membaca pikiranku.

"Aku tahu." Suaraku sedikit bergetar. Kini aku melepaskan jariku dari leher dan kembali duduk dengan kepala lurus.

"Luka di lehermu itu adalah pertanda ritual pertamamu. Goresan itu akan bertambah hingga hari keseribu. Luka itu akan memanjang mengintari lehermu selama hari itu hingga ujungnya akan saling terkait."

"Maksudmu aku akan berkalung bekas luka hitam ini?"

"Iya."

Jantungku mungkin melewatkan satu atau dua kali degupan ketika mendengar kata-katanya. Berkalung bekas luka itu selamanya terdengar benar-benar mengerikan. Tanganku yang semula saling memilin kini mulai genetar.

"Apa enggak ada cara lain agar luka ini tidak muncul?"

Alisia mengggeleng. "Enggak ada karena luka itu adalah penanda dan harga yang harus kamu bayar untuk memanggil roh seseorang yang telah meninggal."

"Lalu apa yang akan terjadi dengan bekas luka ini?"

"Aku tidak tahu soal itu. Tapi, hal yang aku tahu tentang ritual ini adalah pada hari ke seribu saat lingkaran itu saling terkait maka kamu harus memilih, nyawamu atau nyawanya."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu pasti, tapi katanya begitu." Alisia kembali berteka-teki. "Satu hal yang pasti, kamu mengikat perjanjian dengan iblis. Kamu sendiri juga tahu kalau iblis tidak akan memberikan apa pun secara cuma-cuma. Pada akhirnya kamu akan membayar semuanya karena tidak ada yang gratis di dunia ini."

Mendengar kata-kata itu membuatku sedikit takut. Alisia benar, tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi memanggil orang yang sudah mati kembali ke dunia maka pasti akan ada bayaran yang sangat besar. Dan memanggil jiwa yang mati itu bukan pekerjaan malaikat, semua itu pekerjaan iblis. Jadi, lagi-lagi, Alisia tidak salah dalam hal ini. Aku tahu soal ini. Namun, aku ingin tahu lebih banyak.

"Membayar? Dengan apa? Nyawa?" tanyaku akhirnya setelah merasa cukup tenang.

Alisia tersenyum sekarang. " Aku tidak tahu. Satu hal yang kutahu, iblis tidak suka memberi kejutan di awal. Pembayaran itu akan tiba pada waktunya dan kamu akan melunasi hutang itu apa pun yang terjadi, meski kamu menolak sekalipun."

Aku kembali mengetuk cangkirku. Mataku menatap cairan kental teh di dalamnya. Aku benar-benar terjebak sekarang. Sialnya, aku bahkan tidak tahu jalan keluarnya. Bulu kudukku tidak kunjung tenang setelah mendengar kata-kata Alisia barusan. Ujung jariku kini menyentuh leherku. Bekas luka kecil itu seolah mengigit-gigit di balik kulitku.

"Kamu takut?"

"Memangnya kamu tidak takut kalau urusannya dengan iblis?"

"Kalau menurutku, nikmati saja kebersamaanmu bersama pacarmu itu selagi kamu bisa," Alisia tersenyum hingga giginya yang putih menonjol mengerikan. "Sebelum kamu harus membayar lunas hutangmu, bukankah setidaknya kamu harus bahagia. Dunia ini enggak ada adil padamu, kan?"

Aku tidak menjawab. Lagi-lagi kata-katanya benar. Alisia seperti sedang mengoleskan madu di setiap kalimatnya yang beracun. Aku baru sadar sekarang, sepertinya memang tidak ada lagi jalan kembali. Semua sudah terjadi dan aku harus membayar cepat atau lambat. Akan tetapi, seribu hari masih lama. Aku akan memikirkan bayarannya nanti. Untuk sekarang, aku hanya perlu sedikit senang karena Geralku telah kembali seperti kata Alisia. Bukankah dunia ini tidak adil padaku, jadi setidaknya aku harus bahagia. Benar begitu, kan?


One Thousand DaysKde žijí příběhy. Začni objevovat