52. Peace

6.3K 908 41
                                    

Kecelakaan yang dialami El dengan niatnya sendiri, ternyata terjadi satu Minggu yang lalu. El tentu tidak terlalu terkejut karena kecelakaan beruntun itu mampu membuat kepalanya bocor dan kakinya cidera dalam.

Namun mungkin, tuhan sedang berpihak padanya. Atas segala kejadian yang ada di rumah sakit satu Minggu lalu, kesalahpahaman yang membuat dia hampir merenggut nyawanya sendiri. Kaki dan kepalanya sudah mulai pulih saat awal ia sadar sore kemarin.

Kini, El berada dalam jangkauan bundanya sendiri. Setelah setengah harian meretas ponsel keluarganya yang menghilang tanpa jejak.

Dia masih belum menemukan kabar dari mereka semua. Bundanya tentu berpihak pada opahnya terlebih dia sudah melakukan hal nekat seperti ini.

El sungguh kecewa.

Adiknya benar-benar dibawa pergi oleh opah dan kakeknya dalam jangka yang masih belum dia ketahui.

Yang El tahu, setelah berhasil operasi itu. Adiknya kembali dinyatakan koma, karena tubuhnya yang harus melewati masa transisi untuk menerima jantung orang lain.

El bersyukur adiknya akan membaik.

Tapi ia merasa sesak karena tak bisa melihat adiknya secara langsung.

"El."

Tangannya yang sejak tadi sibuk mencari informasi dilaptop kerjanya, kini berhenti. Dia mendongak saat bundanya kembali dengan membawa beberapa makanan yang sangat tidak menarik untuk di makan.

"Makan dulu."

El menutup laptopnya segera dan meletakkannya di nakas. "Bunda gak usah ngurusin El kayak gini." Dia tak suka. Apalagi setelah mengingat kejadian dia mendorong bundanya dengan perasaan amarah. Dimana bundanya terjerembab dan dengan teganya ia malah pergi dan mengabaikan panggilan bundanya.

"Anggap bunda dokter biasa. Jangan larang bunda mulu. Bunda gak suka." Farah mendengus kesal.

El mengalihkan pandangannya, lalu beralih mengambil piring yang menggantung kearahnya.

"Jangan diambil doang, tapi dihabisin."

El mengangguk pelan. Sapuan lembut dikepalanya kembali terasa. Dia jadi rindu dengan mommynya juga yang belum mengabarinya sama sekali.

"Bunda baru tau kamu nyekap teman bunda."

El mendongak, menatap bundanya dengan tatapan datar. Dia ingin meminta maaf. Tapi hanya tertahan di tenggorokan. El sudah malas mengurusi segala hal tentang Dinda sebenarnya.

Dia tak ingat sempat menyuruh beberapa bodyguardnya untuk menyekap tantenya Dinda.

"Tante udah lepasin." Farah duduk dibangku, lalu memperhatikan El lagi yang tengah kembali makan. "Kamu gak mau minta maaf?"

"Maaf," ujar El singkat.

"Bukan ke bunda, tapi ke temannya bunda," kekeh Farah dan El kembali membisu.

"Besok bunda pergi, setelah mommy sama Daddy kamu sampai--" El segera menoleh. "Syasha?"

"Nggak." Farah tersenyum hati-hati. "Bunda justru pergi buat ngurus adik kamu disana."

"El ikut."

"Gak bisa." Farah menghela nafas pelan, mengabaikan perasaan El yang pasti menyakitinya.

"Kenapa?" Wajah El tetap datar. Memilih untuk tetap tenang tanpa ada emosi disetiap kata. El sudah terbiasa dengan kekecewaan akhir-akhir ini. Banyak kejadian yang membuat emosinya naik-turun hingga bahkan sampai tak terkendali. Dan kali ini, El memilih untuk pasrah alih-alih melawan.

Syasha (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang