Bab 42

55 9 33
                                    

Suasana beku dan kaku, kini mulai mencair. Ketakutan serta kegelisahan yang tadi mencekam, sudah terelakkan. Empat personil Impossible Escape berkumpul bersama, saling menguatkan.

"Cinta, sebaiknya kamu jangan kabur dari rumah. Nggak semudah itu buat hidup di jalanan. Bukan kamu banget, deh." Ayung mencoba mengingatkan Bito setelah tahu kalau cowok itu berniat kabur. Bito bukan Deril yang biasa berkemah, naik gunung, menyendiri di tempat sepi. Bito jelas takut hantu.

"Kamu pikirin lagi. Mau tinggal di mana? Di markas kita? Sampai kapan? Tahan sama debu di sana? Nggak takut hantu?" Ayung terus mencecar dengan pertanyaan.

"Kan, ada Deril juga," sanggah Bito, meski dalam hati membenarkan ucapan Ayung.

Masa baru kabur terus balik lagi. Malu, dong! Besok saja aku balik ke rumah. Mama sama Papa biar mikir dulu. Pelajaran buat mereka, batin Bito.

"Dih, ogah! Gue nggak mau nemenin lo. Malam ini gue tidur di sini, jagain Canting."

"Aku juga!" Bito tidak mau kalah.

"Hanya boleh satu orang, Cinta. Nggak bisa lebih," tutur Ayung dengan sabar.

"Kalau gitu ...." Bito ingin menawarkan diri untuk menjaga Canting, tetapi ngeri sendirian di rumah sakit.

"Kenapa? Lo mau jagain di sini sendirian? Boleh aja. Biar lo didatengin sama hantu," ledek Deril.

"Terus, kamu mau bermalam di rumah tua sendirian? Yakin, Cinta?" Ayung ikut mendesak.

Bito makin kebingungan. Dia menggaruk kasar kepalanya karena frustasi. Ternyata, dia memang tidak semandiri itu. Jangankan untuk menjaga Canting, mengurus diri sendiri saja ... terbukti belum bisa.

"Udah, nggak usah gengsi. Balik aja ke rumah, terus istirahat." Ayung mengusap pelan punggung Bito.

"Iya." Bito menjawab singkat sembari menunduk. Dia malu. Tampak jelas, Deril jauh lebih berkualitas sebagai seorang cowok dibandingkan dirinya. Canting memang lebih pantas bersanding dengan Deril.

"Tapi, dari kejadian hari ini, aku ambil banyak pelajaran, sih. Orang tuaku punya cara sendiri buat perhatiin dan sayang sama anak-anaknya." Ayung tersenyum tipis. Awan mendung masih menggantung di sorot matanya. Begitu juga dengan gurat sedih, samar terlukis di raut wajahnya.

"Bito pengin banget bebas. Orang tuaku ... kasih kebebasan seluas-luasnya. Ayah Canting pergi, hal yang mestinya aku syukuri karena Daddy nggak kayak gitu. Daddy juga nggak pernah kasar seperti papinya Deril. Aku ngerasa malu. Aku kayak ... kurang bersyukur."

Tiga orang yang lain tertegun mendengar ucapan Ayung. Cewek modis itu sudah menemukan jawaban atas permasalahannya selama ini. Meski masih ada kecewa serta sedih yang bertakhta, dia sudah bisa menerima, berdamai dengan kehidupannya.

"Aku nggak takut lagi untuk jadi orang dewasa," ucap Ayung. Tadinya, empat orang itu memang sama-sama benci orang dewasa dan tidak ingin jadi seperti mereka. Keempatnya ingin terus remaja.

"Gue nggak takut jadi orang dewasa. Gue pengin lebih kuat, lebih keras, biar bisa balas menindas!" Deril mengepalkan tangan, menahan emosi.

"Aku juga nggak takut. Aku harus lebih pintar, lebih sukses, lebih terhormat biar bisa balas semua perlakuan mereka!" Bito berujar kesal.

"Kamu, Can?" Ayung memberi kesempatan pada teman-temannya untuk mengutarakan pemikiran.

"Aku ... ingin tetap jadi remaja. Nggak mau jadi dewasa. Orang dewasa itu ... menakutkan," jawab Canting sambil tertunduk lesu.

"Impossible buat kita untuk escape jadi orang dewasa. Usia nggak bisa dilawan. Waktu juga nggak bisa ditentang. Yang bisa kita lakukan sekarang, hanya bersiap jadi orang dewasa yang lebih baik dari kedua orang tua kita. Biar anak-anak kita nanti, nggak ngerasain penderitaan kayak gini," tutur Ayung, beralih duduk di samping Canting.

Impossible EscapeWhere stories live. Discover now