Bab 38

24 4 13
                                    

Deril beranjak menjauh. Dia menatap benci ke arah sang papi. Kalau saja bisa bertukar takdir, dia tidak mau jadi anak dari laki-laki tidak bertanggung jawab macam ini.

Gini amat hidup gue!

"Bukan gue yang harus kasih duit ke lo. Lo tuh, kepala keluarga, tapi malah jadi keset keluarga. Benalu!" teriak Deril marah.

"Apa lo bilang? Berani sama gue, ya?" Aldi menatap bengis, lalu mendekati Deril.

Manda dengan cepat menghalangi dua laki-laki tercinta dalam hidupnya itu agar tidak berkelahi. Dia akan kebingungan, harus membela siapa. Yang satu adalah belahan hati, satu lagi buah hati. Sama-sama penting.

"Cukup! Aku kasih kamu uang, Pi. Jangan berkelahi. Sebentar." Kedua tangan Manda bersemayam di dada Aldi, berusaha menyabarkan.

"Dari tadi kek!" celetuk sang suami sambil menyeringai.

"Jangan, Mi! Udah cukup kita manjain cacing parasit ini. Kalau Mami kasih dia duit lagi, Deril pergi!" ancam Deril, sambil mencekal lengan maminya.

"Heh! Mau jadi anak durhaka lo? Berani ngelawan orang tua!" Aldi mengangkat tangan, berniat memukul Deril yang kini berdiri di belakang Manda.

"Stop!" Manda menahan tangan Aldi. Dia terjepit di tengah dengan tangan kanan tercekal Deril dan yang kiri mencekal Aldi. Dia benar-benar terperangkap di dua pilihan. Dua manusia yang sama berharganya. Dia sudah kehilangan anak sulung. Jangan lagi.

"Deril, lepasin tangan Mami," titah perempuan yang tubuhnya makin kurus kering itu.

Meski berusaha terlihat tegar di depan semua orang, tetapi Manda sebenarnya sangat tersiksa. Dia terus merasa bersalah akibat kepergian kakak Deril, juga terjebak di pernikahan beracun yang dia sendiri enggan mengakhiri. Cinta masih menjadi alasan utama. Padahal, bukan cinta jika hanya bisa menorehkan luka, tanpa pulasan bahagia selama menjalaninya.

Cinta itu mengobarkan semangat di masa terpuruk kita, bahkan mampu menghadirkan senyum di momen tersedih sekalipun. Cinta itu menguatkan, bukan melemahkan. Jangan dibalik.

"Mami kasih dia uang, Deril pergi." Cowok itu mengulangi lagi ancamannya, meski dengan nada rendah.

"Deril!" Manda berteriak keras sambil menarik tangannya agar terlepas dari cekalan Deril.

Melihat tatapan mata maminya, Deril tahu kalau wanita itu pasti akan menuruti kemauan sang suami. Deril mendesis kesal hingga menampakkan deretan gigi putihnya dan sorot tajam dari mata elang yang bernaung di bawah alis tebal. Dia membalikkan badan, lalu masuk ke kamar. Debum pintu mengakhiri adegan sore ini.

Deril memasukkan beberapa pakaian ke tas ransel yang biasa dia pakai untuk naik gunung. Tekad sudah bulat. Dia akan kabur sekarang juga. Deril sudah terlampau muak melihat polah ayahnya.

Suara pintu ditutup terdengar dua kali. Pertama dari arah depan dan yang kedua adalah pintu kamar orang tuanya. Itu artinya ... Aldi telah pergi dan Manda juga sudah masuk ke kamarnya. Time to go!

Deril berjalan santai, keluar dari kamar. Maminya tidak akan pernah peduli, dia pergi ke mana, apalagi kalau akhir pekan. Tidak pulang pun tidak masalah. Manda beranggapan kalau Deril pasti pergi bersama teman-teman, menikmati masa remaja. Memberi kebebasan dan tidak perhatian itu ternyata beda tipis, ya.

"Woi, anak gaul! Mau ke mana? Muncak?" sapa salah satu security perumahan di gerbang depan.

"Yoi, Bang!" Malas beramah-tamah, Deril mengangkat satu tangan, tanda berpamitan.

"Hati-hati. Agak mendung ini," pesan security itu lagi.

Deril hanya mengangguk pelan sambil terus melangkah. Hanya ada satu tempat yang dia tuju saat ini. Rumah tua. Markas rahasia yang akan jadi tempat tinggal sementaranya. Lokasinya pas. Tidak jauh dari rumah, juga sekolah. Deril bisa mampir sebentar untuk ambil bahan makanan dan pakaian ganti.

"Kamu kabur apa kemah?" Ayung tertawa ketika Deril menelepon dia.

"Kalau kabur beneran, dapet duit dari mana gue buat hidup? Terus, sekolah gue juga gimana? Ya ... kecuali lo mau nampung gue di rumah lo. Sekamar juga nggak papa, kok."

"Dih, enak di kamu, nggak enak di aku itu!"

"Kali aja lo mau, Yung." Deril terkekeh-kekeh. Kebersamaan selama ini telah menghancurkan dinding pembatas mereka. Deril jadi berani bicara, bahkan menggoda.

"Kalau Bito, sih ... aku nggak nolak, Der. Kalau kamu ... pikir-pikir dulu, deh," jawab Ayung dengan santai, tanpa peduli perasaan lawan bicara.

Deril yang sedang kalut, kini makin kalut karena masih saja ditolak mentah-mentah oleh Ayung. Cowok itu merebahkan diri di dalam kamar, berbantal beberapa pakaian. Untung saja, dia selalu membersihkan ruangan itu. Jadi, bisa nyaman untuk 'berkemah' sementara.

"Der, rumah tua itu kan serem. Namanya aja Gondo Mayit. Kamu nggak takut ada hantu?"

"Kuntilanak itu selalu happy, ngajak ketawa. Pocong malah loncat-loncat girang. Tuyul ... lari-lari ngajak mainan. Hantu Indonesia itu terkenal ramah, lho. Jadi, ngapain takut?" Deril tertawa ngakak.

"Iya juga, sih. Manusia bahkan bisa lebih kejam daripada hantu. Kuntilanak aja nyariin anaknya kalau hilang. Hantu juga marah kalau ada yang ganggu anak mereka atau nggak sengaja nabrak, nginjek, sampai bikin kesurupan. Lah, manusia? Punya anak juga dibiarin aja," keluh Ayung.

"Yes! Buktinya, ortu gue juga nggak peduli gue ada di mana, ngapain aja, pulang atau nggak. Bodo amat." Deril menertawakan keadaan mereka. Dua remaja yang sama-sama kesepian, kehilangan makna keluarga, meski punya orang tua lengkap.

"Jadi, masih lebih enak jadi anaknya hantu, ya?" Ayung ikut tertawa.

Beberapa minggu sebelumnya, Deril sudah memasang lampu taman tenaga surya sebagai penerangan secukupnya. Jadi, tidak terlalu gelap gulita. Sejak terbentuknya Impossible Escape, dia sering menyendiri di sana malam hari. Memang belum pernah menginap. Deril melakukan itu karena rindu suasana sepi. Siang hari, Ayung dan Bito sering ke rumah tua, berkumpul bersama.

Bukan merasa terganggu dengan kehadiran dua warga baru itu, tetapi sesekali Deril butuh waktu untuk sendirian saja. Hal itu sudah menjadi kebutuhan utama dalam hidupnya. Me time kalau istilah kerennya.

Sendiri memang menenangkan, meski tidak selalu menyenangkan. Berdua lebih baik, bersama jauh lebih sempurna. Itu kalau kondisinya normal. Kalau abnormal seperti yang dialami oleh Deril, sepi dan menyendiri jelas merupakan keputusan yang lebih nyaman.

Papi Deril bukannya bangga melihat anaknya jadi artis, malah meminta lebih banyak uang kepada Manda. Dia beranggapan kalau uang wanita itu akan makin menumpuk karena Deril sudah punya penghasilan sendiri. Padahal, Manda malah tidak tahu kalau Deril sering tampil. Aldi marah-marah dan menuduh Manda pura-pura tidak tahu.

Tiga orang dari Impossible Escape sedang terpuruk. Kesuksesan awal mereka, ternyata tidak membuahkan kebahagiaan. Bagaimana dengan Canting? Bahagia atau ...?

"Wah, sekarang sudah jadi artis, makin cantik saja kamu, Can." Ibra mencolek dagu Canting.

" Ibra mencolek dagu Canting

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now