Bab 5

40 11 5
                                    

Canting yang merasa tidak enak karena tadi Bito sudah mengganggu Deril, berniat untuk meminta maaf. Tidak hanya itu, dia sebenarnya ingin bisa lebih akrab lagi dengan cowok gaul itu.

Begitu memasuki ruangan, Canting melihat Deril sedang terpejam sembari jari mengetuk-ngetuk lantai. Earphone berwarna kuning melekat di kedua telinga. Canting tidak berani mengganggu keseriusan cowok itu. Dia memilih untuk melangkah perlahan, lalu duduk di depan Deril. Lumayan, bisa menatap lekat, memperhatikan setiap detail dari wajah tampan di hadapannya.

Tiga kancing paling atas dari baju seragam Deril dibiarkan terbuka. Cuaca mendung seperti ini memang membuatnya gerah. Tato bergambar kepala harimau, mengintip sedikit di bagian dada karena dia memang tidak mengenakan kaus dalam.

Canting menelan ludah dengan susah payah melihat kreasi maha sempurna di depannya. Meski bibir Deril menghitam karena kebiasaan merokok, tetap saja dia terlihat tampan. Ditambah lagi, alis tebal yang menaungi mata tajamnya, seolah-olah punya daya magis yang mampu menyihir para cewek.

"Astaga!" Deril terlonjak kaget ketika membuka mata. "Sialan lo! Ngagetin gue aja."

Cowok itu memang asli Jakarta. Logat masih sangat kental dan dia juga belum terbiasa berbahasa Jawa.

"Maaf. Kamu kelihatan serius banget, jadi aku nggak berani ganggu," ucap Canting seraya tersenyum manis.

"Mau apa lo?"

"Nggak. Cuman mau minta maaf saja atas sikap Bito tadi." Cewek itu terlihat salah tingkah. Tatapan Deril terlalu mirip dengan penjara, menawan hatinya.

"Santuy, cuy. Yang penting, bawa jauh-jauh pacar cantik lo itu. Jangan deket-deket sama gue."

"Dia bukan pacarku," bantah Canting.

"Terserah. Bukan urusan gue. Sudah, kan?" Deril mengusir secara halus.

"Kamu lagi nulis puisi?" Canting melirik sekilas ke arah kertas di hadapan Deril. Ada beberapa kalimat seperti puisi yang penuh dengan coretan.

"Bukan urusan lo." Deril buru-buru melipat kertas itu, lalu meletakkan di samping tubuhnya.

"Aku juga suka puisi. Siapa tahu kita bisa sharing-sharing." Canting memberanikan diri. Kepalang basah, pikir dia.

Deril tetap bergeming. Namun, tampak gurat ragu terbit di wajahnya. Dia sedang menimbang-nimbang, perlukah menyerahkan lembaran itu kepada Canting?

"Ini bukan puisi," ucap Deril yang kembali memasang earphone di kedua telinga.

Canting langsung berdiri. Dia menganggap kalau itu adalah tanda dari Deril kalau cowok itu sudah tidak mau lagi berbincang dengannya. Baru saja dia membalikkan badan, Deril malah menahan.

"Tunggu! Lo duduk dulu."

Canting tersenyum, lalu menuruti ucapan cowok idamannya itu. Dia kembali duduk dan menunggu.

"Gue ... suka bikin lagu. Tapi, gue selalu kesulitan ngisi liriknya. Jadi, sampai sekarang, belum ada yang jadi." Deril mengulurkan lembaran tadi.

"Wah, keren. Aku belum pernah nulis lagu. Biasanya puisi," jawab cewek itu sambil membaca sekilas kertas di tangannya.

"Lo bisa bantu gue supaya lagu itu jadi?"

"Aku nggak berani janji, tapi ... bakal aku coba. Siapa tahu cocok. Aku coba bikin berdasar ide cerita di kertas ini, ya. Kalau sudah jadi, aku kasih ke kamu. Mmmh, kalau kamu nggak keberatan, punya rekaman lagunya nggak? Biar lebih mudah."

"Ada." Deril mengulurkan ponselnya.

"Kirim aja ke HP-ku, biar bisa didengerin di kamar," tolak cewek itu.

Impossible EscapeWhere stories live. Discover now