Bab 39

17 4 14
                                    

Canting yang sore itu berpapasan dengan Ibra, berniat langsung menghindar. Sayang, dagu itu sudah telanjur terpegang.

"Apa-apaan, sih?" Cewek itu memelotot, lalu segera membalikkan badan.

"Buru-buru amat ngajak ke kamar." Ibra tidak kalah cepat. Tangan kekar dan penuh bulu itu langsung mencengkeram pergelangan tangan Canting.

"Aduh, sakit! Mau apa kamu?" Canting meronta, berusaha melepaskan cekalan Ibra.

"Mau sakit apa mau enak?" Tubuh Ibra makin memangkas jarak di antara mereka. Canting terus mundur dengan wajah ketakutan. Alih-alih merasa iba, ayah tiri Canting itu justru tertawa.

"Lepaskan atau aku teriak!" ancam Canting yang sudah tidak bisa mundur lagi karena punggungnya telah bertemu dengan dinding kamar bagian luar.

"Nggak ada siapa-siapa di sini, Sayang. Teriak saja kalau kamu berani. Mau aku pukul sampai pingsan?" Ibra balik mengancam. Seringainya begitu mengerikan, seperti serigala kepalaran sedang mengincar mangsa.

"To-tolong, lepaskan aku," ratap Canting, makin ketakutan.

"Makin kamu merintih, aku makin suka, Sayang." Bibir Ibra menyunggingkan senyum.

Panggilan sayang dari orang tua kepada anak, mestinya bukan hal aneh jika diucapkan dengan benar dan kondisi yang berbeda. Ucapan Ibra benar-benar membuat bulu kuduk berdiri, lebih seram daripada tinggal sendirian di rumah tua, berhantu sekalipun.

"Jangan macam-macam! Aku laporkan Bunda nanti!" Mata Canting mulai basah, tetapi dia tidak mau kalah.

"Apa dia bakal peduli? Kalau nggak ada aku, kalian cuma jadi pengemis jalanan. Jadi, kamu harus balas budi atas jasa baikku ini." Ibra mendekatkan wajahnya.

Canting langsung membuang muka. Kulit pipinya mampu merasakan deru dari napas pria tidak tahu malu itu. Aroma rokok yang teramat pekat, menusuk indra penciuman Canting. Bayangan menyeramkan mulai melintas di dalam kepala.

Tiba-tiba saja, Ibra menjejalkan sapu tangan berbahan handuk ke mulut Canting. Entah kapan dia ambil kain tebal itu dari saku celana. Canting terus meronta. Selama beberapa menit, mereka seperti pegulat yang saling serang satu sama lain, berusaha mengalahkan lawan. Ibra memaksa mendekap, sementara cewek itu terus menggeliat dengan mulut tersumbat.

Ibra menarik keras kemeja seragam Canting. Dua kancing paling atas sudah langsung lepas. Buah baju itu terlempar, entah ke mana. Cewek itu terus menjerit, meski mulut tetap terbungkam.

Karena Canting terus melawan, Ibra tidak sabar lagi. Dia tampar anak tiri itu berkali-kali. Canting yang marah bercampur jengah, wajahnya bertambah merah. Penampilan cewek itu sudah tidak keruan. Baju kusut, muka bersimbah air mata, bercampur peluh karena terus meronta. Ada kehormatan yang harus dia jaga.

Tangan kekar dan berbulu milik Ibra sudah menggerayang ke mana-mana. Dengus kasar merajai, di sela teriakan terbungkam dari mulut Canting. Cewek itu berusaha memegangi kemeja agar tidak makin terbuka.

Canting yang tadinya hanya bisa meronta dan berusaha menjauhkan tubuh Ibra, kini mulai berani. Dia tekan ibu jarinya ke mata laki-laki itu.

"Ah! Keparat!" Ibra memegangi mata kiri.

Tidak ingin membuang kesempatan, Canting menendang sekuat tenaga ke arah selangkangan. Laki-laki itu langsung tersungkur. Kedua tangan yang tadi memegangi mata, kini beralih ke organ berharga miliknya. Entah karena lebih sakit atau bagian itu jauh lebih penting untuk dilindungi.

Canting mematung selama sekian detik, memandang tubuh Ibra yang tergolek di lantai dan tidak mampu lagi memaki, apalagi berdiri. Laki-laki itu hanya bisa merintih kesakitan. Badannya bergelung seperti kucing kedinginan.

Impossible EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang