Bab 21

18 7 16
                                    

Suasana kelas masih sepi ketika Ayung tiba di sana. Hawa dingin memagut sekujur kulit meski dia sudah mengenakan sweater rajut tebal berwarna merah menyala. Kota apel ini memang terkenal beku di pagi dan malam hari. Nanti sekitar pukul sepuluh, baru mulai terasa hangat. Kabut masih sering turun di kota wisata paling kaya di provinsi Jawa Timur ini. Pemandangan langka untuk mereka yang tinggal di kota besar, tetapi sudah biasa bagi warga Batu dan sekitarnya.

Ayung dan Canting adalah dua siswi yang biasa datang paling awal di kelas. Namun, mereka berbeda kebiasaan. Kalau Ayung, pasti akan cepat kabur ke kantin atau membeli jajanan di depan sekolah. Sedangkan Canting, dia lebih suka duduk di kelas, pasang earphone, mendengarkan musik dari ponsel sambil memejamkan mata. Dunia tenang yang bisa dia temukan selain di rumah tua.

"Tumben si Canting belum datang." Ayung bicara sendiri.

Dia lantas melongok dari jendela, berusaha mencari sosok Canting di depan sekolah. Tidak sulit mengenali cewek itu. Rambut selalu dikepang kuda dan kaus kaki tinggi menjadi ciri khasnya. Canting sadar kalau rambut dia kusam dan tidak terawat. Karena itulah, dia tidak percaya diri untuk mengurai rambut panjang melebihi bahu itu. Setidaknya, kepang kuda bisa menutupi keburukan rambutnya yang berminyak dan berwarna sedikit kemerahan.

"Ah, itu dia!" Ayung melihat Canting sedang berjalan perlahan mendekati pintu gerbang. Dia segera duduk di bangku dan pura-pura membaca buku sambil menunggu cewek itu datang.

Karena kelas mereka ada di bagian paling depan sekolah, satu deret dengan kantor kepala sekolah dan ruang kantor lainnya, jadi tidak butuh waktu lama untuk Canting tiba di kelas. Seperti biasa, dia memilih untuk tidak peduli pada kehadiran Ayung di sana. Kalaupun cewek itu mulai mengganggu, Canting biasanya mengalah, pindah ke bangku lain yang jauh dari jangkauan Ayung. Bangku pojok belakang, biasa jadi sasaran selagi yang punya belum datang.

"Pagi, Canting. Udah sarapan belum?" sapa Ayung dengan ramah dan wajah semringah.

Canting yang masih berdiri di dekat bangku dan hendak melepas tas punggung, langsung tercengang. Apa dia tidak salah dengar? Ayung menyapa dengan ramah dan senyum manis seperti itu? Apa Ayung mabuk, demam atau jangan-jangan ... hilang ingatan?

"Heh, ditanya malah bengong. Tunggu bentar." Ayung mengambil kardus kecil dari dalam tas, lalu membukanya. "Taraaa! Kita makan bareng, yuk!"

Dia sempat mampir ke pedagang pinggir jalan, membeli beberapa kue basah. Jajanan pasar murah meriah, tetapi sangat nikmat untuk disantap pagi hari seperti ini. Canting masih tetap bergeming. Dia berdiri mematung, melihat perubahan sikap Ayung yang tiba-tiba.

"Ayo, Can. Nih, makan." Ayung mendahului, mengambil salah satu kue dan langsung menggigitnya.

"Kenapa? Kok, masih diem aja?" tanya Ayung di sela mengunyah kudapan. Wajahnya tetap terlihat cerah dan penuh semangat.

"I-iya." Canting meletakkan tas di bangku, lalu mencomot salah satu kue. "Makasih ya, Yung."

"Sama-sama. Aku ... mau berdamai sama kamu, Can. Maafin aku, ya. Selama ini aku terlalu cemburu ngelihat kedekatan kamu sama Bito. Aku jadi gelap mata. Sekarang udah terang benderang, kok." Cewek dengan soft lens abu-abu itu tertawa ringan.

"Aku sama Bito itu nggak ada sesuatu yang spesial, Yung. Bahkan, kalau dibilang berteman dekat pun, kayaknya nggak, deh. Teman biasa saja. Sama kayak ke kamu dan yang lainnya." Canting menanggapi dengan santai.

Dia memang tidak pernah menaruh dendam sama teman satu itu. Dia paham kalau Ayung hanya terbakar cemburu. Cemburu buta yang membuat dia membenci Canting tanpa sebab.

"Iya. Kamu ... pacaran sama Deril, kan? Hayo, ngaku!" Ayung berusaha mengorek informasi.

"Nggak, Yung. Kami ... teman saja." Canting sedikit tergagap.

"Ah, Teman Tapi Mesra, ya." Ayung tertawa keras.

Dia lanjut bercerita kalau kemarin siang melihat Canting dan Deril di bioskop. Kebetulan, dia juga mau makan siang di Batos dan iseng melihat-lihat ke bioskop. Kejadian itu yang membuat Ayung yakin kalau Canting tidak punya perasaan khusus ke Bito. Ketika cowok sama cewek nonton berdua, sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu di antara mereka. Kalaupun bukan segumpal cinta, pasti ada secuil sayang yang itu punya potensi untuk berkembang. Setidaknya, begitu pemikiran Ayung.

"Astaga! Itu ... Deril nraktir, soalnya ... aku bikin lirik buat lagu dia." Canting makin tergagap.

"Heh, kalaupun ada apa-apa, nggak papa juga, kali. Aku ikut seneng, kok. Kamu sama Deril ... dan aku sama Bito. Kita bisa kencan ganda. Gimana?"

Ucapan Ayung yang ceplas-ceplos telah sukses membuat wajah Canting jadi merah padam. Alangkah bahagianya kalau itu semua bisa terwujud. Dalam hati, dia mengaminkan kalimat Ayung barusan. Siapa tahu, ada malaikat lewat dan langsung mencatat.

"Dih, pakai malu-malu segala. Amin, gitu!" Ayung menggeser tubuh, duduk tepat di belakang Canting agar bisa berbincang lebih asyik.

"Sudah, kok." Canting malah keceplosan.

"Udah apanya? Kalian udah jadian? Wah, selamat, ya. Sekarang tinggal kamu bantuin aku biar bisa jadian sama Bito. Please, Can." Tatapan memohon, segera Ayung luncurkan. Kalau Canting yang kumal dan dekil saja bisa jadian dengan cowok setampan dan segaul Deril, pasti dia punya resep rahasia. Ayung harus dapat bocorannya.

"Eh, bukan. Maksudnya ... sudah diaminkan," jawab Canting malu-malu.

"Oalah. Kirain udah jadian. Lagi otewe, ya?" tanya Ayung lagi.

"Doakan saja, Yung. Aku bantu kamu soal Bito, ya?"

"Eh, ciyus kamu mau bantuin aku?" Ada secarik sesal di hati Ayung. Mestinya, dari dulu dia tidak perlu memusuhi Canting. Cewek itu malah bisa membantu dia untuk mendapatkan Bito. Penyesalan memang selalu datang belakangan karena kalau di depan namanya pos satpam.

"Iya. Nggak janji berhasil juga, ya. Yang penting, kita sama-sama usaha." Canting memulas garis lengkung sempurna dengan bibirnya. Dia merasa lega. Satu-satunya musuh di sekolah, kini telah berhasil ditaklukkan. Kemenangan tanpa peperangan, bahkan tanpa perjuangan sama sekali. Dia hanya diam dan Ayung mengirimkan tawaran pertemanan, tidak sebatas berdamai.

"Ah, makasih banyak, Canting. Aku jadi terhura. Eh, terharu maksudnya." Ayung kembali tertawa. Dia memang selalu terlihat ceria sepanjang hari. Hal itu berkebalikan dengan suasana hati yang sebenarnya selalu dirundung sepi.

Manusia sering menampakkan sikap yang berbeda dengan situasi hatinya. Bukan bermaksud untuk munafik. Mungkin dengan cara itu, mereka bisa menguatkan dan menyemangati diri sendiri. Toh, mengeluh dan bersedih juga tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, lebih baik menghadapi semua hal dengan ceria dan bahagia. Tawa mampu menghadirkan kekuatan tambahan dalam masa perjuangan.

"Can, kamu bantu aku dapetin Bito dan aku bakal bantu kamu juga buat ngedapetin Deril. Oke?"

 Oke?"

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
Impossible EscapeUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum