Bab 6

34 11 7
                                    

Canting tersenyum bahagia begitu pesan yang dia kirimkan tadi ternyata dibalas dengan cepat oleh Deril.

[Wah, cepet banget! Kirim sini, geh. Gue mau baca sekarang.]

[Wait!]

Canting segera mengetikkan lirik yang sudah dia buat tadi, lalu mengirimkannya kepada Deril. Satu menit ... Deril belum membalas juga. Cewek itu jadi harap-harap cemas. Hingga lebih dari lima menit, belum juga ada pesan balasan.

Apa Deril marah karena nggak suka sama lirik yang aku buat, ya?

Canting merutuki diri sendiri. Mestinya, dia tidak mengirimkan lirik tadi secepat itu. Seharusnya dia baca dulu berulang kali sebelum memberi tahu Deril. Canting merasa kalau dirinya terlalu gegabah.

Lagu itu pasti sangat berarti untuk Deril. Namun, Canting malah membuat liriknya dengan sangat cepat, terkesan meremehkan dan tidak serius untuk membantu.

Deril pasti mikirnya aku buru-buru dan asal jadi. Duh, dasar bodoh! Cewek itu memukul dahinya pelan.

[Keren! Eh, SUPER keren! Gue suka banget. Suer, Can. Gue masih punya beberapa lagu lagi yang belum ada liriknya. Tolong, bantu gue kasih lirik, ya!]

Canting melonjak gembira setelah membaca pesan balasan dari Deril. Syukurlah kalau cowok itu suka, pikirnya.

[Syukurlah kalau kamu suka. Eh, tapi lirik di kertas tadi belum aku pakai, lho.]

[Buang aja! Jelek banget, kan?] Deril membubuhkan emotikon tertawa beberapa kali.

[Nggak jelek, kok. Cuman kaku. Kirim saja rekaman lagu yang mau dibuatin liriknya.]

Tidak perlu menunggu lama, enam buah file suara langsung terkirim saat itu juga. Canting tersenyum lebar. Ternyata, Deril sudah membuat banyak lagu.

[Itu baru beberapa. Masih banyak lagi sebetulnya. Eh, pilih lagu yang lo suka aja ya.]

[Aku suka semua, kok.]

[Bokis banget lo. Dengerin juga belum!] Lagi-lagi, emotikon tertawa tampak berderet di belakangnya.

Ternyata, Deril tidak sedingin penampilannya. Dia jadi pribadi yang jauh berbeda ketika berkirim pesan. Banyak tawa, ceria, meski sebatas emotikon belaka.

[Segera aku kasih liriknya kalau sudah jadi.]

[Woke. Thanks a lot, ya!]

[Sama-sama.]

Saking senangnya, Canting sampai lupa makan siang. Dia langsung merenung sambil mendengarkan salah satu lagu yang Deril kirimkan tadi. Lagu patah hati.

~

Kait kita sudah di ujung lontar

Rasa hambar, rindu pun memudar

Aku kalah telak

Jauh sebelum kau tolak

~

Lagi-lagi, Canting sebenarnya hanya menumpahkan perasaan melalui lirik yang dia tuliskan. Setiap lariknya mewakili secuil rasa. Tentang rindu rahasia, tentang mimpi yang jauh dari nyata, juga keinginan dia untuk pergi dari keluarga. Coretan acak yang nanti akan dia pilih serta pilah lagi hingga jadi syair utuh untuk lagu ciptaan Deril.

Canting yang sedang asyik menghadap meja belajar, langsung menoleh ke belakang begitu mendengar pintu kamar dibuka.

"Ada apa?" Dia bertanya dengan nada kaku. Baru kali ini ayah tirinya masuk ke kamar.

"Nggak ada apa-apa. Pengin ngobrol aja. Boleh, kan?" Ibra duduk di tepi ranjang. Pria tampan dengan tubuh lumayan kekar. Wajar saja kalau ibu Canting langsung terpikat dan menikah dengan dia.

Impossible EscapeWhere stories live. Discover now