Bab 40

18 6 5
                                    

Bito terus tidur tertelungkup dengan kepala ditutup bantal. Dia benar-benar kecewa. Dunia memang tidak pernah bersahabat dengan para remaja. Seisi semesta sudah telanjur dikuasai orang dewasa. Semua harus berjalan sesuai keinginan mereka. Istilah pemuda harapan bangsa, hanyalah slogan belaka. Bagaimana bisa anak muda menjadi harapan bangsa, sedangkan impian mereka saja terus dimatikan?

Tidak jauh berbeda dengan Bito, Ayung menangis tersedu-sedu sambil duduk di atas ranjang. Wajah sengaja dia benamkan ke boneka Teddy Bear besar untuk menyembunyikan teriakan. Cewek itu melampiaskan kesal dengan memekik lantang dalam pelukan makhluk berdaging dakron. Toh, tidak akan terdengar oleh siapa pun.

Ketika marah, Deril akan menjauh dari apa pun dan siapa pun. Dia lebih memilih sendiri dan menikmati kesendirian dengan hal-hal yang membuat dia merasa bahagia. Mendengarkan musik, misalnya. Persis dengan yang dia lakukan sore ini. Deril tidak melakukan apa-apa selain memutar musik di ponsel, lalu ikut bersenandung.

Tiga personil Impossible Escape terlarut dalam kesedihan masing-masing. Tidak satu pun dari mereka yang membaca pesan Canting di grup WA.

Bito menyudahi amarahnya. Mumpung belum jam makan malam, dia berganti pakaian, mengenakan jaket, dan memasukkan beberapa baju ke tas punggung. Cowok yang biasanya penurut itu, kini berniat untuk kabur. Dia tidak mau terus hidup di dalam penjara yang diciptakan oleh orang tuanya. Entah bagaimana nanti. Toh, dia masih bisa hidup selama beberapa bulan dari tabungan yang dimiliki. Ayung juga pasti akan membantunya.

Masih dengan cara yang sama, Bito berhasil keluar. Cukup berjalan kaki sebentar ke ujung jalan, dia kemudian naik angkutan umum dan turun beberapa puluh meter dari rumah tua. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Dia tidak punya tujuan lain. Meskipun takut hantu, Bito tetap nekat. Orang tuanya jauh lebih menyeramkan daripada setan!

"Eh, apa nih?" Deril terkejut ketika pipinya tiba-tiba basah. Spontan, dia usap dengan punggung tangan. Cairan itu berbau anyir, agak kental dan lengket.

"Darah?" Cowok itu terkejut ketika melihat tangannya berwarna merah.

Hantu? Duh, masa iya di sini ada hantu! Jantung Deril langsung berdetak lebih kencang. Bangunan tua, gelap, senja, dan darah. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk menciutkan nyali, bahkan pada laki-laki pemberani sekalipun?

Darah itu tetap menetes. Rasa penasaran Deril jauh lebih besar dari ketakutannya. Tidak mau berlama-lama, dia naik ke ruangan atas. Kalau memang nanti hantu yang dia temui, ya lari. Sesederhana itu pemikiran Deril.

Dia memasang lampu yang biasa dipakai untuk naik gunung ke dahinya. Setelah mengembuskan napas panjang tiga kali, Deril merasa siap untuk naik. Sedikit gemetar, tetapi dia nekat saja. Setapak demi setapak, terasa berat di kedua kaki.

Gila! Kenapa gue deg-degan, sih?

Tiba di ruangan atas, Deril melihat sosok berseragam putih abu-abu, duduk di dekat lubang lantai yang menganga.

"Canting!" teriak Deril. Dia langsung mengenali wajah cewek itu. Siapa lagi yang punya rambut ekor kuda selain dia?

"Can, lo kenapa?" Deril mengguncang bahu Canting berulang kali. Cewek itu sudah tidak sadarkan diri.

Deril langsung menoleh ke arah lubang di lantai, sumber tetesan darah. Ternyata, cairan merah itu berasal dari pergelangan tangan Canting yang terluka. Deril makin panik. Dia berlari ke bawah, bermaksud untuk mengambil ponsel.

"Aduh!" Bito berteriak karena tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya, tepat ketika dia membalikkan tubuh karena mendengar derap langkah di belakang.

"Bito? Lo ... lo ... ngapain ke sini?"

"Lah, kamu sendiri ... kenapa di sini, Der?" Bito meringis kesakitan. Deril menindih tubuh ringkih Bito.

"Astaga!" Deril langsung berdiri. Dia merasa jengah karena malam-malam begini malah menindih sesama laki-laki. Apa kata dunia? "Lo bawa mobil?"

"Nggak. Kenapa?"

"Canting, Bit. Canting di atas!" Deril mencoba bercerita meski lidah terasa kelu.

"Hah? Dia ke sini juga? Aku ke atas kalau begitu," jawab Bito, lalu naik dengan penuh semangat.

"Bit ...." Deril berusaha menahan, tetapi terlambat.

Ah, udahlah! Gue mau telepon Ayung biar bawa mobil ke sini. Deril bergegas mengambil ponsel yang masih tergeletak di lantai.

"Can!"

Deril menoleh sekilas ke arah lubang besar di atasnya. Bito pasti terkejut melihat keadaan Canting saat ini.

"Deril! Kamu apakan Canting?" Teriakan Bito terdengar lagi.

Deril malas menjawab. Dia langsung menghubungi Ayung. Setelah beberapa kali nada sambung, baru panggilan itu dijawab.

"Halo." Suara Ayung terdengar serak.

"Lo buruan ke sini. Canting dalam bahaya. Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang juga!"

"Canting kenapa? Ke sini ... ke mana?" Ayung mengerjapkan mata saking terkejutnya.

"Markas. Buruan!" Deril langsung menutup telepon.

"Brengsek kamu!" Bito tiba-tiba datang dan langsung memukul wajah tampan Deril. Deril yang tidak siap menerima pukulan, tentu saja langsung terhuyung dan tersungkur.

"Sialan lo! Ngapain lo pukul gue?" Deril menyeka darah di ujung bibir, lalu buru-buru berdiri. Dia menarik jaket Bito, mendekatkan wajah cantik itu ke depan hidungnya. "Brengsek lo!"

"Kamu yang brengsek! Kamu apakan Canting sampai kayak gitu?" Bito memelotot marah.

"Bukan gue! Dia udah kek gitu pas gue liat ke atas!" Deril terus membentak. Dia sedang panik. Bito malah menambah beban, bukannya menenangkan.

"Bohong! Pasti kamu yang sudah lecehkan dia! Awas saja!" Bito masih tidak percaya. Di mata dia, Deril itu cowok urakan, ugal-ugalan, berandalan. Demi Canting saja dia mau bergabung di Impossible Escape dan jadi satu kelompok dengan cowok begundal itu.

"Astaga! Seburuk itu, ya, gue di mata lo! Bedebah!" Deril mendorong tubuh kurus Bito hingga terjengkang. "Lo tunggu di sini! Bentar lagi Ayung datang. Gue mau bawa Canting turun."

Bito bergegas berdiri dan lekas menyusul ke atas. Dia tidak mau percaya begitu saja. Bagaimana kalau Deril malah membunuh Canting nantinya?

Deril menggendong tubuh Canting yang terkulai lemas. Seperti adegan di film action, Deril tampak keren melakukan penyelamatan. Bito hanya bisa jadi sad boy, pemain figuran yang menatap tidak berdaya ketika cewek tercinta dikuasai oleh pesaingnya, sang pemeran utama.

Deril membawa tubuh Canting hingga ke gerbang bangunan tua. Dia dudukan cewek itu, tetap bersandar di lengannya. Setelah menunggu beberapa menit, mobil merah Ayung datang. Bito dengan sigap membuka pintu belakang agar Deril mudah memasukkan Canting.

"Ada apa ini?" tanya Ayung dengan wajah kebingungan, begitu Bito duduk di sebelahnya.

"Sudah, buruan!" Bito malah membentak Ayung.

Ayung segera menginjak pedal gas, menuju rumah sakit terdekat. Samar-samar, Ayung melihat noda darah di tangan Bito. Namun, dia tidak berani bertanya lagi. Semua orang sedang panik. Bukan saat yang tepat untuk banyak menelisik. Yang paling penting sekarang adalah membawa Canting agar bisa segera ditangani oleh dokter, apa pun masalahnya.

 Yang paling penting sekarang adalah membawa Canting agar bisa segera ditangani oleh dokter, apa pun masalahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now