Bab 18

26 8 6
                                    

Melihat sikap Carla yang jadi melunak, Ayung tersenyum tipis karena merasa menang. Seperti biasa, pamor orang tuanya selalu membuat terpukau dan segan. Begitu pula dengan mama Bito. Orang tua mana yang tidak mau punya calon menantu dari keluarga kaya dan sukses seperti Ayung?

"Tante, aku ikut creambath juga ya, biar kita bisa ngobrol-ngobrol." Tanpa menunggu jawaban, Ayung langsung menyuruh Bito untuk pindah tempat duduk agar dia bisa duduk di dekat Carla.

"Aish! Apaan, sih?" Bito makin sewot melihat tingkah Ayung yang berlebihan.

"Ayolah, Cinta! Cinta! Cinta!" Ayung malah merengek.

Bito akhirnya mengalah daripada dia makin malu dengan kelakuan cewek itu. Dia tetap berharap kalau mamanya akan menentang Ayung. Semoga Carla tidak tergoda dengan kekayaan serta kesuksesan keluarga Ayung.

"Aku creambath pakai ginseng aja," ucap Ayung begitu salah satu terapis mendekatinya.

"Kita keramas dulu ya, Mbak. Silakan," jawab terapis dengan ramah. Meski bertubuh tinggi besar, ternyata dia tidak kejam dan menyeramkan.

"Oh, iya. Aku sampai lupa. Maaf ya, Mbak." Ayung tertawa ringan.

Di sepanjang perawatan, Ayung tidak pernah berhenti berceloteh. Ada saja yang dia ceritakan. Tidak hanya Carla, Bu Linda dan para terapis juga jadi ikut berbincang. Mereka saling bersahutan, seperti sekumpulan burung berkicau bersama. Suasana salon yang biasanya sepi sendu, hanya ada alunan musik syahdu, kini riuh ramai seperti di pasar. Bito terus merutuk di dalam hati. Kali ini Ayung berhasil mengambil hati Carla, diawali dengan pesona orang tuanya. Gawat!

"Duh, senang banget lho kalau ada kamu, Yung. Jadi ramai di sini," celetuk terapis di belakang Bu Linda. Ayung sudah melarang mereka untuk memanggil dengan sebutan mbak. Cukup Ayung saja.

"Iya. Jadi nggak bosen perawatan. Eh, gimana kalau kita janjian aja. Minggu depan kita treatment bareng lagi, ya?" Bu Linda tampak bersemangat.

"Kalau saya sama Bito sih memang rutin di hari dan jam ini. Jadwal dia kan padat dan semua sudah ditata. Nggak bisa seenaknya dilanggar," jawab Carla dengan tegas.

"Aku juga bakal ke sini minggu depan. Kita ketemu lagi dan perawatan bareng lagi. Asyik!" Ayung bersorak gembira. Meski berbeda usia, bahkan sudah tergolong berbeda generasi, tetapi dia bahagia karena akhirnya tidak kesepian. Di luar jam sekolah dia masih punya pertemanan. Setidaknya, itu jauh lebih baik daripada langsung pulang dan dipaksa untuk menikmati kesendirian.

Anak ini nggak sopan. Tingkahnya juga berlebihan. Tapi, dia termasuk bibit unggul dan sepertinya cinta mati sama Bito, ucap Carla di dalam hati sembari memperhatikan cara Ayung berbicara.

Penggunaan kata 'aku' kepada orang yang jauh lebih tua, rasanya memang kurang sopan. Seakrab apa pun mereka, unggah-ungguh tetap harus dipertahankan. Modern boleh, tetapi adab serta adat tetap harus dijunjung tinggi agar tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kalau tidak begitu, kita sendiri yang nanti akan dikucilkan atau terkena sanksi sosial lainnya. Mungkin, Ayung masih terlalu muda sehingga belum memahami hal itu. Mungkin juga orang tuanya terlalu sibuk berbisnis hingga lupa untuk mengajarkan prinsip hidup kepada anak-anak mereka. Berbagai kemungkinan terus berputar di kepala Carla. Dia terus memindai dan menganalisa kepribadian Ayung sembari berbincang.

Tapi, anak ini baik dan tulus. Dia nggak pura-pura. Kalau nggak suka, pasti dia akan tunjukkan. Begitu juga kalau dia menyukai sesuatu ataupun seseorang. Dia tidak akan segan mengatakan dan menunjukkannya, batin Carla.

Ketika Carla dan Bu Linda harus dicuci rambutnya, Ayung segera mengambil kesempatan itu untuk menunjukkan rekaman di mal tadi.

"Bit, lihat rekaman ini, deh." Ayung mengulurkan ponsel ke arah Bito.

Cowok itu tetap memejamkan mata, pura-pura tidak mendengar. Namun, bukan Ayung kalau tidak bisa memaksa dia.

"Ya, udah. Ini soal Canting. Tadinya, aku pikir kamu bakal tertarik dengan rekaman ini. Kalau nggak mau ... ya, udah."

"Eh, tunggu dulu. Sini, aku mau lihat!" Bito langsung membuka mata dan mengulurkan tangan.

Ayung tersenyum puas. Dia menyerahkan ponsel serba merah jambu itu dan menanti reaksi Bito. Cowok itu pasti terkejut.

"Ini ...."

Reaksi Bito persis dengan yang apa yang sudah Ayung perkirakan. Dia pasti tidak bisa berkata-kata. Cemburu memang menyakitkan. Ayung sudah sangat paham akan hal itu. Seperti itulah yang selama ini dia rasakan ketika Bito jauh lebih perhatian kepada Canting dibandingkan dirinya. Sesakit itu pula yang dia rasakan setiap kali Bito berbincang dan mendekat ke arah Canting, saingan cintanya.

"Mereka lagi kencan. Kamu masih mau ngarepin dia? Dua orang itu kan sama-sama nggak punya masa depan. Jadi, mereka memang cocok. Beda sama kita, Bito. Kamu itu pinter, ganteng, pasti jadi orang sukses nanti. Kalau aku ... cantik, kaya, bergaya. Klop, deh! Kita ini pasangan serasi, lho." Ayung kembali meluncurkan rayuan.

"Nih!" Bito mengulurkan kembali ponsel milik Ayung dan kembali menutup mata.

Sial! Kenapa Canting malah kencan sama cowok itu, sih? Nggak ada cowok lain yang lebih bagus, gitu? Lagian, jelas-jelas masih gantengan aku daripada Deril. Pintar, jelas jauh! Apa yang Canting lihat dari cowok brengsek itu? Bito makin menggerutu.

"Mas, keluar bareng itu ... belum tentu kencan, kok. Berteman, bisa. Bermusuhan pun, bisa. Buktinya, Mas Bito sama Ayung sekarang. Keluar bareng, kan? Kencan, bukan?" bisik terapis di belakang Bito. Ternyata, wanita bertubuh tambun itu diam-diam mengamati situasi yang terjadi antara Ayung dan Bito.

"Lagian, keluar bareng juga belum tentu udah jadian. Iya, kan?" imbuh terapis itu lagi.

"Betul juga, Mbak." Wajah Bito kembali semringah.

"Selama janur kuning belum melengkung, perjuangkan!"

"Kalian bisik-bisik apa?" Ayung merasa curiga.

"Wanna know aja!" Bito menirukan gaya Canting.

"Dih, kayak pernah denger kalimat itu, deh. Cari yang lain aja, sih. Kayak nggak ada kalimat yang lain aja," gerutu Ayung. Apa pun tentang Canting, pasti akan membuatnya emosi. Berani-beraninya cewek itu menggoda Bito, padahal sudah punya Deril.

"Gue bodo amat!" Bito menyanyikan penggalan lagu.

"Bito jahat, ih. Padahal, aku mau kasih tahu sesuatu lagi soal Canting. Nggak jadi, deh," pancing Ayung, kesal dengan sikap jutek Bito terhadapnya.

"Eh, masih ada lagi? Kasih tahu, dong!" Bito langsung menoleh.

"Gue bodo amat!" Ayung membalas dengan lagu yang sama.

"Aish! Gitu saja marah. Ayo, dong, Ayung cantik. Kasih tahu lagi soal Canting. Ada apa?" Cowok itu merayu dengan nada lembut.

"Gue emang cantik, tapi gue bodo amat!" Ayung tetap menggunakan lagu yang sama.

Dalam hati, Ayung terkekeh-kekeh melihat Bito kebingungan. Masih ada satu rahasia lagi tentang Canting yang dia tahu dan dia yakin kalau Bito belum tahu soal ini.

Rasain! Kapok!

Rasain! Kapok!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Impossible EscapeWhere stories live. Discover now