Bab 14

24 10 8
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Ayung buru-buru menyodorkan kotak kertas berwarna putih ke arah Bito. Di jam istirahat kedua tadi, dia sengaja membeli beberapa kue untuk persiapan makan siang cowok pujaan hatinya.

Kamis adalah hari yang paling padat bagi Bito. Ayung sudah hafal. Setengah dua nanti, cowok itu harus les Fisika, disambung perawatan kulit bersama ibunya di salon langganan. Jadi, dia hanya punya waktu kosong tiga puluh menit sejak bel pulang sekolah berbunyi. Ayung sengaja menyiapkan kue-kue berukuran kecil agar Bito tidak lupa makan siang dan bisa dengan mudah memakannya di perjalanan sembari melajukan kendaraan. Simpel, efektif, dan sangat efisien, menurut dia.

"Yung, aku kan sudah bilang, nggak usah siapin makanan ataupun camilan. Aku sudah bawa dari rumah, kok!" protes Bito, menolak pemberian Ayung.

"Bawa aja, Cinta. Lumayan kan buat ngeganjel perut. Who knows kamu nggak sempat makan siang nanti." Cewek itu tetap memaksa.

Daripada terus berdebat, Bito akhirnya mengalah. Dia masukkan kotak kecil itu ke dalam tas dan buru-buru pergi. Dia harus segera turun gunung seperti para pendekar di cerita silat. Ya, tempat les Bito di Kota Malang, sementara posisi tempat tinggal dan sekolahnya di Batu, daerah perbukitan dan gunung. Ke arah barat, kita akan disambut oleh Gunung Kawi yang penuh cerita mistis dan ketika ke utara, ada Gunung Arjuno yang tinggi menjulang sebagai gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa.

Ternyata, kue dari Ayung memang sangat membantu, ucap Bito dalam hati sembari menggigit kue sus kecil, begitu masuk ke mobil. Lumayan, bisa buat mengganjal perut yang sudah ribut berkeruyuk.

Ayung tidak salah pilih. Sus vanila adalah salah satu kue favorit Bito, selain pie buah. Cowok itu sampai menutup mata, menikmati kelembutan fla di dalamnya. Bito tidak sadar kalau ada sepasang mata yang kini tengah menatapnya sembari tersenyum lebar. Ayung memperhatikan dari jauh. Dia tahu kalau Bito tengah menyantap kue pemberiannya.

Sok malu-malu, padahal mau. Cewek itu tertawa di dalam hati.

Bito masih enggan berhenti makan. Setelah sus vanila habis, dia lanjut ke kue berikutnya, lemper dengan isi daging ayam. Sedikit berat, semoga bisa menenangkan perut yang masih saja bergejolak, pikir dia. Kue yang dibeli Ayung selalu pas dengan seleranya. Cewek itu seperti punya indra keenam hingga mampu memahami Bito sesempurna ini.

Hebat juga dia, batin Bito seraya menenggak air mineral setelah menghabiskan lemper. Dia selalu punya persediaan air mineral di pintu mobil.

"Alhamdulillah, kenyang!" ucap Bito setelah bersendawa.

Masih ada dua kue lagi, pie buah favoritnya dan bika ambon. Dia akan memakannya nanti setelah selesai les, sebelum berangkat ke salon agar tidak kelaparan. Perawatan di salon langganan selalu menghabiskan banyak waktu. Membosankan, tetapi dia tidak bisa menolak. Semua sudah ketentuan dari Yang Maha Memaksa bernama orang tua.

Mata Ayung terus menatap kepergian mobil putih yang selama ini selalu hadir di mimpinya. Cewek itu berangan-angan, suatu saat nanti dia bisa duduk di dalamnya bersama Bito. Andai saja ....

Ayung melangkah pelan ke arah mobilnya. Hati berat sekali unt uk pulang. Toh, tidak ada siapa-siapa di rumah.

Aku ke mal aja, deh. Daripada bete, mending makan siang di sana.

Tepat di belakang Ayung, Deril dan Canting tengah berjalan bersama. Seperti kesepakatan tadi pagi, mereka berencana untuk nonton bioskop di Batos, Batu Town Square. Lokasinya tidak jauh dari sekolah mereka. Cukup berjalan kaki sekitar sepuluh menit, mereka sudah sampai.

"Makasih ya, udah mau nemenin gue nonton," ucap Deril, begitu mereka melewati gerbang sekolah.

"Mestinya bilang gitu nanti, kalau sudah selesai nonton. Kan, ini belum." Canting terkekeh-kekeh pelan.

"Eh, iya juga, ya." Cowok itu tertawa ringan. Dia memang jarang bergaul sama cewek. Jadi, wajar saja kalau sedikit grogi.

"Aku yang mestinya bilang terima kasih sama kamu, Der. Kamu sudah ngasih kesempatan buat coretan tak berartiku itu untuk bisa jadi lirik lagu kamu. Sumpah, aku ngerasa bangga." Canting tertunduk malu.

Dia yang biasa mencuri pandang ke arah Deril, kini malah tidak berani menatap langsung. Padahal, ini kesempatan emas, lho. Wajah tampan cowok itu tersaji jelas di dekatnya. Biasanya, Canting hanya bisa menikmati wajah Deril dari kejauhan, entah itu di kantin atau lapangan basket. Eh, satu lagi! Di rumah tua, markas rahasia mereka.

Canting sering mengintip dari atas, melalui lubang besar di lantai ruangan favoritnya. Dia memperhatikan Deril yang lebih sering merebahkan diri seraya menutup mata. Yang jelas, cowok itu tidak tidur karena dia sesekali menghisap vape kecil berwarna hitam legam di tangan kanannya. Mungkin, dia sedang mencari inspirasi untuk lagu-lagunya.

"Gaya ngomong lo, kek lagu gue itu udah nge-hitz aja." Deril tertawa keras. "Gue itu masih amatiran, Can. Ya ... anggep aja kalau kita berdua ini lagi sama-sama belajar. Lo belajar bikin puisi dan lirik, gue belajar compose lagunya. Simpel, kan? Yang paling penting, kita sama-sama happy dengan itu."

"Iya, sih."

"Betewe, lirik yang lo buat kemarin, dalem banget feel-nya. Keknya itu emang curahan hati lo, deh," pancing Deril ketika jalanan mulai menurun dan mal yang mereka tuju sudah mulai kelihatan.

"Wanna know aja!" Wajah Canting bersemu merah. Pipinya terasa menghangat.

Duh, jangan sampai deril curiga, batin Canting, buru-buru melempar pandangan ke samping.

"Cie, cie! Bener kan omongan gue? Lo suka sama siapa? Hayo, ngaku!" Deril menarik ujung lengan seragam Canting.

"Enggak, Der. Itu ... cuma puisi, kok. Kan, inspirasi itu bisa datang dari mana saja. Memangnya kalau kita nulis soal pembunuhan, harus jadi pembunuh juga? Gitu?" Cewek itu membela diri.

"Ya ... nggak juga, sih. Tapi, lirik lo itu nge-feel banget, lho. Jelas, itu bukan sekadar inspirasi biasa. Gue yakin banget! Itu pasti ungkapan lo dari hati yang paling dalam." Deril mengacungkan telunjuk, tepat di depan hidung Canting.

"Kamu ini ada-ada saja." Canting masih tetap mengelak sambil tergelak.

"Kita ini kan sama-sama seniman. Sebagai seorang seniman, kita pasti bisa merasakan, mana karya yang benar-benar dari dalam hati dan mana karya yang memang hadir hanya karena sebuah inspirasi. Coba lo tebak. Dari enam lagu yang gue kirim kemarin, mana lagu yang gue bikin dari dalam hati."

"Wait!" Canting buru-buru merogoh saku dan mengeluarkan ponsel miliknya.

Secepat kilat, dia memasang earphone, lalu memutar lagu pertama dari enam rekaman yang telah dikirimkan oleh Deril kemarin sore. Tanpa sadar, Canting menutup kedua mata seraya terus melangkah pelan. Dia langsung terlarut dalam alunan nada di lagu pertama. Deril memegang lengan cewek itu, seolah-olah menuntunnya agar tidak sampai keluar dari trotoar.

Beberapa puluh detik kemudian, Canting berhenti melangkah. Dia membuka mata, lalu menatap ke cowok di sampingnya. Ada pedih, patah, dan sesak menyerang dada. Dia baru sadar kalau lagu ini bukanlah lagu biasa. Deril benar. Ada karya yang tercipta hanya karena inspirasi biasa dan ada yang benar-benar tulus dari dasar hati sang penciptanya. Tidak bisa dipungkiri, rasanya berbeda.

"Sekarang aku tahu!"        

"Sekarang aku tahu!"        

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now