Bab 1

249 29 43
                                    

Tidak banyak yang tahu, rumah tua itu milik siapa. Posisinya yang berada di ujung jalan buntu dan tertutup pagar tinggi, membuat orang jarang menyadari keberadaannya. Satu tempat yang selama ini selalu dituju oleh Canting ketika suasana hati sedang tidak menentu. Hanya di tempat inilah dia bisa merasakan ketenangan. Cukup memasang earphone di kedua telinga, menutup mata, lalu merebahkan diri di salah satu ruangan yang ada.

Meski sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya, rumah di kota wisata Batu itu tetap kokoh berdiri dan hanya bocor di sana-sini. Tidak parah. Salah satu kamar di lantai dua menjadi favorit cewek berambut pendek itu untuk menghabiskan waktu. Tenang, tidak ada siapa pun yang mengganggu, dan yang jelas ... jauh dari ayah tirinya.

Penduduk sekitar biasa menyebut rumah itu dengan Omah Gondo Mayit. Gondo itu artinya bau dan mayit itu mayat, dalam bahasa Jawa. Konon, sering tercium aroma bangkai dari rumah tersebut pada malam hari.

"Dor!" Bito menepuk bahu Canting, membuat cewek itu terlonjak kaget.

"Ngapain kamu ke sini?" Canting melepas salah satu earphone dan membiarkannya tergantung di dada.

"Ngikutin kamu," jawab cowok itu dengan santai.

Bito memindai ke sekeliling. Kamar itu sedikit lebih bersih dari ruangan lain yang dia lewati tadi. Tidak terlalu gelap karena ada jendela yang langsung mengarah ke halaman belakang. Daun jendela tinggal satu sehingga memudahkan angin menerobos masuk, berlarian bebas ke dalam ruangan.

"Ngapain ngikutin aku?"

"Penasaran saja. Aku perhatiin, kamu sering ke arah sini. Padahal, rumah kamu kan beda arah." Cowok dengan rambut belah tengah itu lantas duduk di sebelah Canting yang sedang bersandar di salah satu dinding.

"Ini tempat persembunyianku, Bit. Aku suka menyendiri di sini. Tenang." Cewek itu melepas kabel earphone dari ponsel.

"Through The Rain" milik Mariah Carey mengalun lirih. Lagu yang sangat menguatkan Canting selama ini. Dia berharap, semoga bisa melalui hujan lebat yang kini tengah mengguyur deras kehidupannya. Tidak hanya ayah tiri yang terus mengganggu, perhatian sang ibu juga makin tergusur dengan kehadiran adik tiri yang kini sudah berusia sepuluh tahun. Cewek itu merasa makin terpinggirkan.

Bito jadi satu-satunya teman di sekolah. Entah mengapa, hanya dengan dia Canting bisa berbincang. Sementara itu, dengan yang lain mulutnya tiba-tiba terkatup. Padahal, kebanyakan siswa tidak suka pada Bito. Juara umum di sekolah, tetapi sok mengatur segala sesuatu. Cowok, tetapi suka mengomel.

Ditambah lagi, Bito itu sedikit kemayu. Tubuh tinggi langsing mirip peragawati. Kulit putih mulus, glowing tanpa cela. Banyak yang merundung dan menjuluki dia bishounen, istilah Jepang yang merujuk pada cowok cantik seperti Bito ini.

"Sembunyi dari apa?" tanya Bito kemudian sambil mengeluarkan ponsel dari tas ransel berbahan kulit domba asli. Maklum, keluarga dia memang lumayan kaya.

"Sembunyi dari kejamnya dunia ini." Canting mengembuskan napas berat, lalu mulai bersenandung lirih, mengikuti lagu yang tengah diputar. Sementara itu, Bito—sama seperti kebanyakan remaja cowok—memainkan game online dari ponselnya.

"Puitis banget, Neng! Kejamnya dunia. Memangnya, apa yang sudah dunia ini lakukan sama kamu?" Cowok itu menatap ke arah Canting. Dia masih menunggu loading.

Cewek berambut kemerahan itu tidak menjawab. Daripada terus terabaikan di rumah, dia malah merasa lebih nyaman menghabiskan waktu sendirian di tempat itu. Ada, tetapi dianggap tidak ada, rasanya jauh lebih memuakkan!

Dia ibarat pemain figuran yang hanya lewat selintas lalu di depan kamera. Dia tidak pernah dilibatkan dalam setiap momen penting di babak kehidupan keluarganya. Fela, ibu kandungnya sendiri, seperti sudah lupa kalau dia pernah melahirkan Canting ke dunia ini.

Ayah Canting pergi begitu saja meninggalkan keluarga ketika cewek itu berusia hampir lima tahun. Tidak lama setelah itu, sang ibu menikah lagi dan setahun kemudian melahirkan Siska. Sejak kepergian sang ayah, ditambah lagi hadirnya Siska, terlihat jelas kalau Fela menepikan Canting dari kehidupannya. Pernah satu kali Canting menanyakan alasan, kenapa ibunya demikian membenci dia.

"Wajahmu terlalu mirip dengan ayahmu! Kelakuan kalian pasti juga nggaj jauh beda. Pengkhianat!"

Alasan yang tidak masuk akal. Haruskah dia disalahkan atas kemiripan wajah dengan sang ayah? Bukankah Canting tidak pernah meminta untuk punya wajah seperti itu?

Canting bisa dibilang menjalani hidupnya seorang diri. Dia memang tinggal bersama keluarga, tetapi hampir tidak pernah ada interaksi sama sekali. Bahkan, tidak ada foto keluarga yang ada sosok cewek itu di dalamnya. Semua foto hanya bertiga, tanpa dirinya.

Setiap tanggal satu, Fela tidak pernah lupa untuk meletakkan uang saku bulanan Canting di meja makan. Terkadang, cewek itu berharap kalau ibunya sesekali lupa supaya dia bisa bertanya dan berbincang. Namun, semua itu hanya angan belaka.

Ponsel dan laptop juga diberikan tanpa ada interaksi sama sekali. Fela meletakkan dua gawai tersebut di meja makan, bersamaan dengan uang saku bulanan. Makin lama, bibir Canting makin terkunci ... kepada siapa pun.

"Enak juga tempat ini. Sepi. Nggak ada yang cerewet." Mata Bito tetap terpaku pada layar, sementara dua ibu jari bergerak dengan cepat, berusaha menyerang dan mengalahkan lawan.

Canting tidak menjawab. Cewek itu menutup mata sembari terus bersenandung lirih. Dia tampak begitu menghayati setiap kata yang dia nyanyikan.

"Aku tadi dirundung lagi, Can. Biasa, sama grupnya Pio. Aku selalu sial kalau ketemu sama mereka. Tadi nggak sengaja ketemu di toilet. Nih, lihat!" Sempat-sempatnya cowok itu menarik sweater rajut yang dikenakan dan menunjukkan celana bagian depan yang basah seperti orang ngompol.

"Disiram sama mereka pas di bagian ini. Asem! Untung saja aku selalu bawa sweater atau jaket. Kalau nggak, bisa malu diketawain anak-anak," gerutu Bito yang kembali fokus pada war.

Bito bukan tidak berani melawan. Dia malas menghabiskan waktu hanya untuk meladeni beberapa siswa yang sering mengganggu. Makin diladeni, mereka akan makin menjadi. Dia sudah pernah mencoba.

"Kamu ... pernah bosen sama hidup kamu nggak sih, Bit?" Akhirnya, cewek itu bersuara juga.

"Oh, shit!" Bito tiba-tiba mengumpat.

"Eh, sori, Can. Ini nih, timku bloon. Jadi kalah, deh." Cowok itu menekan tombol kecil di samping ponsel. Layar langsung berubah jadi hitam pekat, tanpa gambar sama sekali.

"Bosan banget sih, nggak. Tapi, kalau sekadar jenuh, ya ... kadang-kadang." Bito meletakkan ponsel ke pangkuan.

"Bukannya hidup kamu selalu bahagia, ya? Kamu selalu jadi juara. Orang tuamu pasti bangga. Fasilitas yang kamu dapat juga luar biasa untuk ukuran anak remaja."

Bito sudah bawa mobil ke mana-mana. Mentang-mentang sudah punya KTP dan dapat SIM, tidak tanggung-tanggung, BMW seri 5 yang dia pakai sehari-hari. Nikmat mana lagi yang hendak dia dustakan?

"Itu cuma dari sisi luar yang kalian lihat saja, Can. Kan, kalian nggak tahu, apa yang sebenarnya aku alami." Cowok itu menaikkan kacamata gaulnya, lalu menatap lekat ke arah lubang yang lumayan besar pada lantai di sudut ruangan. Terlihat asap pekat mengebul dari sana.

"Eh, Can! Kenapa ada asap?"

***

Doakan semoga authornya bisa sehat dan terus semangat, ya. Nulis teenlit itu tantangan besar banget soalnya. Semoga bisa kelar dan memuaskan. Allahumma amin. Lope lope all!

 Lope lope all!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now