Bab 24

28 7 20
                                    

Ayung mengekeh pelan ketika membaca nama restoran yang dipilih oleh Bito untuk makan siang mereka hari ini. Cowok itu menatap heran karena Ayung terus saja cekikikan.

"Kenapa, sih? Obatmu habis, ya? Jadi, kumat gilannya."

"Dih, tadi udah jadi cowok baik. Kok, sekarang jahat lagi sih, Cinta?" Ayung merengek manja.

"Habisnya ...." Bito menarik satu kursi.

"Makasih, Cinta!" Dengan penuh percaya diri, Ayung langsung duduk di kursi itu.

"Aish! Sok tuan putri," gerutu Bito yang kemudian beralih, duduk di depan Ayung. Padahal, dia menarik kursi tadi untuk diri sendiri. Bukan untuk Ayung.

Cewek itu tertawa bahagia. Bisa pergi semobil berdua, lalu ditarikkan kursi untuk dia duduk, bukankah itu sangat menyenangkan? Kebahagiaan jadi lebih sempurna karena sebentar lagi mereka akan makan siang bersama.

Yeay! Akhirnya, kencan pertama berhasil juga! teriak Ayung kegirangan. Tentu saja, dia hanya berani bersorak di dalam hati.

"Nama restorannya lucu, ya," celetuk Ayung dengan wajah senyum-senyum.

"Kenapa memangnya?" Bito bertanya sembari menerima uluran buku menu dari pelayan restoran.

Restoran ini lebih banyak menyajikan chinesse food. Dari namanya saja, sudah bisa ditebak kalau nuansa maupun menu andalan mereka pasti bernuansa oriental. Peralatan makan berupa mangkuk putih bersih dilengkapi sumpit, makin menambah ciri khas tempat tersebut.

"Namanya aja Ta Wan. Pasti ini pertanda. Kamu ingin menawan aku di hati kamu." Ucapan Ayung sukses membuat pelayan restoran yang berdiri di sampingnya tertawa.

"Eh, kenapa ketawa, Mas?" Ayung melotot marah. Dia kan sedang fokus merayu Bito. Pelayan tidak tahu diri itu malah menguping, bahkan menertawakan dia.

"Maaf, Mbak. Keceplosan," jawab cowok bertubuh tinggi tegap dengan seragam serba cokelat itu sambil mengulum senyum.

"Ta Wan itu artinya mangkuk besar!" Bito yang memang keturunan Tionghoa, jelas tahu arti kata itu.

"Betul banget yang dibilang sama Mas ini. Bubur Ta Wan yang selalu disajikan di mangkuk besar, menjadi menu andalan kami. Jangan khawatir, semua menu sudah dimodifikasi dari rasa aslinya agar lebih bisa dikecap oleh lidah lokal orang Indonesia." Pelayan tampan itu menambahkan.

"Cinta, kita buruan pesan, yuk. Biar Mas satu ini cepat pergi. Masa kencan pertama jadi bertiga," sindir Ayung sambil membolak-balik buku menu.

"Eh, nggak kok, Mas. Kami nggak lagi kencan. Dia bohong." Bito buru-buru meralat.

"Santai aja, Mas. Mau kencan juga nggak papa, kok. Saya doain langgeng." Pelayan itu mengekeh geli.

"Nah, gitu, dong. Doain yang bagus-bagus." Mata Ayung langsung berbinar. Dia segera memesan sapi lada hitam dan chamomile tea untuk makan siang kali ini.

Bito yang tidak mau makin malu di depan pelayan itu, juga segera memesan makanan. Dia lebih memilih jamur enoki goreng dan bebek panggang, bersanding dengan peppermint tea untuk menawarkan pekatnya saus di lidah nanti. Aroma serta rasa dari daging bebek yang dipanggang harus cepat-cepat dinetralkan agar mulut tetap berasa nyaman.

"So, cerita sekarang soal Canting. Apa yang kamu tahu soal dia?" Bito langsung menembak Ayung dengan pertanyaan setelah pelayan itu pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.

"Ya elah, Cinta! Baru juga duduk, udah langsung diinterogasi aja. Ngobrol-ngobrol soal yang lain dulu, kek," protes cewek itu. "Jangan langsung inti masalah. Ibarat pidato tuh, ada pembukaan, baru ke inti, terus penutup."

"Pembukaan kan sudah di sepanjang jalan tadi. Jangan lupa, kita makan siang bareng ini memang demi informasi soal Canting. Bukan kencan!" Bito menatap serius.

Ayung balas menatap, tetapi berbeda aura. Cewek itu memandang dengan tatapan sedih. Selalu soal Canting. Padahal, dia yang saat ini ada di hadapan Bito. Bukan Canting!

"Kamu nggak bisa ya, satu jam aja lupakan soal dia? Kasih aku waktu sebentar buat nunjukin siapa diriku. Kenali aku, Bito. Satu jam aja." Ratapan itu terdengar pilu.

Bito tidak hanya membangun tembok tinggi di antara mereka. Cowok itu menempatkan Ayung di dasar jurang, sementara dia berdiri pongah di puncak tebingnya. Ayung harus bersusah payah, terus memanjat tanpa kenal lelah. Sikap Bito yang tadi mulai melunak, Ayung anggap seperti uluran tangan dari kejauhan. Memang belum tergapai, tetapi mampu membangkitkan semangat tambahan agar dia terus berjuang sampai bisa meraihnya.

"Aku kan sudah kenal sama kamu sejak kelas satu, Yung. Itu bukan hitungan jam lagi, lho." Bito mengelak, pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Ayung.

"Cinta. Please, deh." Cewek itu memasang tampang memelas.

"Yung, aku nggak mau kasih kamu harapan macam-macam. Sama seperti yang kamu bilang tadi, nggak mudah buat kita untuk membalik perasaan. Aku sukanya sama Canting. Bukan sama kamu. Please, deh. Cinta itu nggak bisa dipaksa. Aku nggak mau kamu makin terluka. Kita jadi teman saja, seperti biasanya."

Lontaran kalimat itu terasa seperti ribuan jarum yang ditusukkan ke hati Ayung, satu demi satu. Setiap katanya menimbulkan perih, nyeri tiada tara, hingga timbulkan sesak di rongga dada. Sesakit ini rasanya ditolak di kencan pertama.

Mata cewek itu berkaca-kaca. Sekuat tenaga, dia tarik sudut bibirnya agar bisa membentuk seutas senyum meski sedikit gemetar. Tawa kecil kemudian terlahir sebagai upaya mangkir dari kekecewaan. Gelak getir, mengejek diri sendiri yang terlalu pandir.

"Oke, Bito. Mulai detik ini, aku bakal bersikap sebagai teman biasa. Itu kan yang kamu mau?" Suara Ayung terdengar parau. Kantung mata sipit itu tidak bisa lagi menahan genangan air. Bulir bening menetes dari sudut mata, tetapi buru-buru dia seka dengan buku jari telunjuk, kanan dan kiri.

Ayung sangat tegar. Dia tetap tersenyum sembari menitikkan air mata. Beberapa kali dia mengembuskan napas panjang untuk meredakan gundah yang kini merajai perasaan. Dia sudah terbiasa dikecewakan oleh orang-orang yang dia harapkan. Momom, Daddy, sang kakak yang juga tidak pernah peduli, dan sekarang ... Bito.

"Makasih ya, Yung. Makasih karena kamu mau mengerti. Jangan sedih lagi, dong." Bito menarik selembar tisu, lalu mengulurkan ke cewek itu.

Kamu pikir, aku bakalan nyerah? Nggak semudah itu, Cinta! I will keep an eye on you. Suatu saat nanti, pasti ada kesempatan buat menangin hati kamu. Apalagi, kalau Canting udah jadian sam a Deril!

"Terus, soal Canting tadi ... gimana?" Bito sebenarnya sedikit ragu menanyakan hal itu. Dia kasihan melihat kondisi Ayung saat ini yang sedang patah hati. Namun, waktu dia memang sempit sekali.

"Kamu ini." Ayung berdecak kesal. Belum juga kering air matanya, sudah disuruh bercerita, tentang Canting pula.

"Maaf, Yung. Waktuku mepet. Please ...."

Mana bisa Ayung menolak kalau Bito sudah memasang tampang imut seperti itu. Hatinya langsung luluh seketika. Dia mulai bercerita.

"Aku secara nggak sengaja baca buku diary Canting."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now