Bab 23

22 7 18
                                    

Seperti yang sudah disepakati, Bito mengajak Ayung ke Batu Town Square untuk makan siang demi mendapatkan informasi soal cewek gebetannya. Terpaksa, daripada tersiksa penasaran. Bito ingin tahu banyak tentang kehidupan cewek misterius itu. Canting terlalu tertutup untuk bisa dikorek soal kehidupan pribadinya. Karena itulah Bito merasa penasaran, bagaimana bisa Ayung yang selama ini memusuhi Canting malah tahu sesuatu? Dia lupa kalau musuh memang biasanya tahu lebih banyak hal karena terus menyelidiki.

"Ketemu di Batos?" tanya Bito ketika mereka menuruni anak tangga.

"Nggak, dong. Aku bareng kamu aja." Ayung menjawab, tetap dengan gaya manja. Tangannya langsung menggamit lengan Bito.

"Aish! Kamu nggak bawa mobil?" Cowok itu cepat-cepat menarik lengannya. "Nggak usah pegang-pegang. Bukan mahram!"

"Iya, Pak Haji. Aku sengaja nggak bawa mobil biar bisa bareng sama kamu." Ayung berkedip-kedip manja sambil memulas senyum yang dibuat semanis mungkin.

Bito diam saja. Dia malah mempercepat langkah. Bagi dia, Ayung ini tidak ubahnya seperti ulat bulu. Jangankan menempel, melihat tingkahnya saja sudah membuat Bito merinding geli. Gerakan Ayung yang meliuk-liuk manja selalu sukses membuat bulu kuduk dia berdiri.

"Aku nggak dibukain pintu, nih?" Ayung menelengkan kepala, berdiri di samping mobil Bito sembari memainkan jemari, layaknya anak TK sedang merajuk sama orang tua.

"Punya tangan, kan? Nggak usah aneh-aneh, deh. Mau aku tinggal?" Bito langsung masuk ke mobil dan membanting pintu. Dia mulai ragu. Sepertinya keputusan yang salah, mengajak siluman ulat bulu ini pergi.

Ayung masuk dengan bibir manyun. Dalam imajinasi dia, kencan pertama itu harusnya mesra. Dia diperlakukan bak putri raja. Cewek itu lupa kalau dia dan Bito hanyalah teman biasa dan ini bukan kencan pertama mereka. Halusinasi tingkat tinggi!

"Kamu kenapa baikan sama Canting?" Pandangan Bito tetap ke depan ketika dia mulai mengajukan pertanyaan. Sedan putih melaju perlahan, meninggalkan halaman sekolah.

"Dih, orang baikan kok dilarang. Harusnya kamu itu senang, calon pacar bisa akrab sama teman kamu," gerutu Ayung yang masih merasa kesal karena cowok itu terus saja bersikap kasar. Dia kan ingin diperlakukan dengan lembut, selembut tahu sutra.

"Iya, Ayung. Aku senang, kok. Sekarang ... calon pacar aku baikan sama teman aku." Tumben, Bito menjawab dengan lembut.

"Ah, Bito .... Aku jadi malu, deh." Ayung langsung membuang pandangan ke luar jendela. Hiasan kupu-kupu di bando merahnya bergerak seperti melompat-lompat, mewakili sang pemilik.

"Nggak usah malu, Ayung. Kan, kamu memang teman aku dan Canting itu calon pacar aku," ujar Bito kalem.

Rasain lo! Pembalasan lebih kejam daripada pengkhianatan mantan! Bito bersorak di dalam hati.

"Hah! Jahat kamu, Bito!" Ayung langsung menjewer telinga cowok di sebelahnya.

"Aduh, sakit, Yung! Kamu gila, ya! Aduh!" Bito berusaha tetap fokus pada jalanan di depannya meski kepala tertarik ke kiri.

"Canting itu suka sama Deril. Kapan kamu mau sadar? Dia malah minta aku buat bantuin supaya bisa jadian sama cowok itu."

"Hah? Terus, kamu mau?" Bito menggosok pelan telinga yang memerah akibat jepitan jemari Ayung.

"Ya iyalah. Masa iya iya dong." Ayung melipat tangan di depan dada. Dia mulai menampakkan sikap songongnya. Bito harus dibuat menyerah. Cowok itu tidak boleh lagi mengejar-ngejar Canting.

"Jangan dong, Yung. Kamu itu harusnya ngebantu aku. Bukan malah dukung Canting sama si cowok begundal itu." Bito coba merayu. Tatapannya memelas.

Dalam hati, Ayung sebenarnya tidak tega melihat cowok pujaan hatinya bersedih seperti itu. Kentara sekali kalau Bito benar-benar terluka. Padahal, dia sendiri sering terluka karena Bito. Malah hampir setiap hari.

"Cinta itu nggak bisa dipaksa, Bit. Kalau memang Canting sukanya sama Deril, ya gimana lagi. Sama kayak aku, sukanya sama kamu. Buat dipaksa cinta sama cowok yang lain, ya susah," ucap Ayung pelan.

Cinta memang penuh rahasia. Sering kali kita mengharapkan cinta dari seseorang, tetapi orang itu malah mencintai yang lainnya. Pun demikian sebaliknya. Kita justru dicintai oleh orang yang tidak pernah kita harapkan sama sekali. Aneh!

"Kalau kamu nggak bisa jadian sama orang yang kamu harapkan, setidaknya ... kamu masih bisa jadian sama orang yang mengharapkan kamu," tambah cewek itu, makin pelan.

Dia bukan takut dimarahi, tetapi takut kalau ucapannya tadi justru akan membuat Bito makin terluka. Ayung paham rasanya ditolak, juga diabaikan. Pasti itu yang Bito rasakan saat ini.

"Ditolak itu berat, Bito. Kamu nggak bakal kuat. Cukup aku aja." Ayung berbisik, seolah-olah sedang berbicara dengan diri sendiri. Namun, Bito masih tetap bisa mendengar ucapan lirih cewek tersebut.

Kini Bito tahu rasanya jadi Ayung. Dia masih mending, tidak diperlakukan kasar oleh Canting. Berbeda dengan Ayung yang selama ini selalu jadi sasaran untuk ucapan serta perlakuan kasarnya. Bito jadi merasa bersalah.

"Sori banget ya, Yung. Selama ini aku terlalu kasar sama kamu. Aku nggak bermaksud seperti itu."

"Nggak papa, Cinta! Woles aja. Cinta itu kan kudu diperjuangin. Biar nggak terus dijajah rindu. Harus berhasil proklamasi cinta dalam bentuk akad." Ayung langsung tertawa.

Meski sikapnya manja, Ayung bukan cewek lemah yang mudah melow, apalagi terpuruk. Dia selalu bisa menghibur diri sendiri dan terus tertawa ceria. Itu satu hal yang bisa Bito kagumi dari diri Ayung.

"Kamu itu hebat, ya. Kamu nggak pernah nyerah meski sudah aku tolak berkali-kali, kasar pula. Malahan, kamu masih bisa tetap tertawa," puji Bito sambil menatap sekilas ke arah cewek itu.

"Makasih, Cinta. Hidup ini dibikin ketawa aja. Jangan terlalu serius. Eh, tunggu dulu. Kalau aku ... harus pantang menyerah buat ngedapetin cinta kamu, tapi kamu ... nggak boleh gitu ke Canting. Aturan pantang menyerah ini cuma berlaku buat aku aja. Catat itu!"

"Aturan siapa itu?" Bito tertawa ringan. Ada-ada saja pemikiran Ayung ini, pikir dia.

"Ya aturanku, dong! Kan, aku yang bilang."

Perbincangan terhenti karena mereka sudah tiba di tempat tujuan. Bito memarkir BMW putihnya di parkiran VIP, tepat di halaman depan bangunan. Sedikit lebih mahal, tetapi mereka tinggal masuk, tanpa harus kesulitan mencari tempat kosong di parkiran belakang.

"Yuk, waktuku nggak banyak soalnya." Bito keluar dari mobil setelah mematikan mesin.

Ayung tersenyum lebar. Kencan pertama tidak gagal. Selanjutnya, tinggal merayu Bito agar mau membolos agar mereka bisa bersama lebih lama siang ini. Semoga saja cowok itu mau.

"Bito, habis makan ... nonton, yuk!" Canting melenggang di samping Bito. Wajahnya terlihat cerah dan semringah.

"Aku harus les, Yung. Kan, janjinya cuma makan siang."

Jawaban Bito tidak seketus biasanya. Sikap cowok itu mulai melunak. Dia tersadar pada satu kenyataan bahwa mencintai adalah hak semua orang. Kita tidak boleh menghina kalau memang tidak bisa membalasnya. Ya, selagi yang jatuh cinta juga tidak keterlaluan. Kalau sudah sampai taraf mengganggu, dia layak untuk ditendang, buang dari kehidupan.

"Aku malas pulang." Ayung menceritakan sekilas tentang kesepiannya di sepanjang langkah mereka menuju restoran.

Bito mendengarkan dengan saksama. Dalam hati, dia jadi membandingkan dengan kehidupannya sendiri. Ternyata, manusia memang tidak pernah puas. Yang diperhatikan, marah. Yang diabaikan, juga kecewa. Lantas, apa sebenarnya yang bisa membuat manusia bahagia?

 Lantas, apa sebenarnya yang bisa membuat manusia bahagia?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now