Bab 20

18 9 10
                                    

Setelah hampir tiga puluh menit berbincang dengan Mbok Rah, Ayung beranjak dari kasur dan berniat untuk membersihkan diri. Dia masih sempat mengecek ponsel dan mengirimkan satu pesan kepada Bito.

[Makan siang di kelas, BERDUA! Bawain makanan, baru aku mau cerita soal Canting.]

Ponsel dia letakkan begitu saja di atas kasur. Bito pasti akan menuruti permintaannya. Cowok itu kan sangat terobsesi sama si Canting, pikir Ayung.

Benda pipih itu bergetar sebentar, menunjukkan kalau ada pesan masuk. Ayung mau jual mahal dulu. Pasti itu Bito. Dia malah melenggang santai ke kamar mandi.

Di bawah guyuran shower pikiran Ayung berkelana ke mana-mana. Dia merenungkan perjuangan selama hampir tiga tahun ini demi mendapatkan cinta Bito. Cewek cantik meski berhidung pesek itu sudah menyukai Bito sejak awal berkenalan. Beruntungnya, mereka selalu satu kelas. Tidak pernah sampai terpisah. Celakanya, Canting juga selalu sekelas dengan mereka.

Kelas mereka termasuk kelas unggulan. Hanya siswa dengan peringkat teratas yang bisa duduk di sana. Kalau Bito, sudah jelas aman. Kan, dia peringkat pertama baik di kelas maupun sekolah.

"Kamu itu terlalu terobsesi sama Bito, Yung. Itu nggak bagus," tutur Windy, teman sebangku Ayung beberapa hari lalu.

"Namanya juga cinta pertama, Win. Wajar dong kalau aku terobsesi."

Mereka jalan sama-sama ke arah kantin di jam istirahat. Windy sering memperhatikan Ayung yang membeli beberapa kue untuk Bito. Menurutnya, itu kurang pantas.

"Lagian, mana ada sih orang yang berhasil dengan cinta pertama mereka? Namanya aja cinta pertama. Jadi, pasti ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya," sangkal Windy, tidak mau kalah.

"Idih, ada, dong! Beberapa orang emang berhasil dengan cinta pertama. So, itu jadi cinta pertama, sekaligus terakhir mereka. So sweet banget, kan?" Ayung mencubit lengan Windy, saking gemasnya.

"Ih, sakit, Yung. Apaan, sih!" Windy melotot marah sambil menepis tangan Ayung yang menempel kuat di lengan seperti capit kepiting.

"Habisnya ... aku gemes. Aku masih punya waktu, Win. Kata orang, selama janur kuning belum melengkung, masih selalu ada kesempatan." Ayung memasang tampang innocent.

"Jadi, kamu bakal nunggu sampai janur kuning melengkung dulu, baru berhenti ngejar-ngejar Bito. Gitu maksud kamu, Yung?"

"Ya ... kalau janur kuningnya udah melengkung, aku lurusin lagi," jawab Ayung sambil tertawa.

"Dasar sinting!" Windy membentuk garis miring di depan dahi, mengolok Ayung.

"Temennya orang sinting, namanya orang gila, ya?" balas Ayung, tertawa makin keras.

"Iya, kali. Aku sih nggak tahu. Kan, kamu bukan temanku." Windy mempercepat langkah, meninggalkan Ayung.

Bukankah kita tidak boleh mudah menyerah begitu saja dengan sesuatu atau seseorang yang kita inginkan? Cinta butuh diperjuangkan. Tidak ada hal indah di dunia ini yang didapat tanpa adanya perjuangan serta pengorbanan. Buktinya, orang tua Ayung juga harus mengorbankan kebersamaan mereka dengan anak-anaknya demi terus berjuang. Kemakmuran yang mereka dapatkan sekarang adalah hasil dari perjuangan keras dan pengorbanan yang tidak main-main.

Tapi ... aku emang nggak bisa suka sama cowok lain, selain Bito, ucap Ayung di dalam hati.

Dia benar-benar sudah cinta mati sama Bito. Membayangkan mereka pisah setelah lulus SMA saja, sudah membuat cewek itu gusar. Apalagi, kalau hal itu benar-benar terjadi nanti. Karena itulah, dia harus tahu ke mana Bito melanjutkan studi. Dia harus kuliah di kampus yang sama meski mungkin berbeda jurusan. Setidaknya, dia masih bisa menghirup oksigen yang sama dengan cowok itu.

Ayung tertawa sendiri. Dia membayangkan, betapa kagetnya Bito nanti ketika tahu kalau mereka kuliah di kampus yang sama. Cowok itu pasti tidak menyangka.

"Ini namanya takdir. Kita emang udah ditakdirin buat bersama, Cinta!"

Jawaban itu yang nanti akan Ayung berikan sama Bito. Sekarang, misi dia adalah pedekate ke Carla supaya bisa terus update info soal Bito kuliah di mana. Langkah awal sudah berhasil tadi. Pertemuan selanjutnya, dia harus bisa mendapatkan nomor telepon wanita itu. Sesekali keluar berdua bersama calon mertua, pasti akan sangat menyenangkan.

Ayung keluar dari kamar mandi hanya mengenakan kimono berbahan tebal dengan warna centil favorit dia, pink. Rambut tetap kering dia karena mengenakan shower cap sebelum mandi. Dia tidak rela kalau efek creambath tadi jadi hilang. Rambut masih terasa sangat halus.

Cewek itu langsung meraih ponsel yang tadi dia tinggalkan begitu saja di atas kasur. Dia tertawa bahagia ketika membaca pesan balasan dari Bito. Lebih dari yang dia harapkan.

[Besok pulang sekolah, aku traktir makan di Batos. Puas?]

[Puas banget, Cinta!] Ayung menggigit bibir bawah kuat-kuat saking semangatnya.

[Tapi, janji ... kasih tahu soal Canting! Awas kalau enggak!] Bito kemudian membubuhkan emotikon wajah berwarna merah, tanda kalau ancaman itu serius. Tidak tanggung-tanggung, sampai lima emotikon serupa berjajar di sana.

[Iya, Cinta. Mana pernah sih aku bohong? Aku selalu jujur, apalagi soal perasaanku ke kamu. Eaaa!]

[Bodo amat!] Bito membalas sambil bergidik ngeri.

Sebenarnya, dulu dia merasa nyaman-nyaman saja berteman dengan Ayung. Namun, sejak tingkah cewek itu jadi terlalu lebay, Bito otomatis menjauh. Ditambah lagi, sikap Ayung ke Canting jadi makin kasar karena cemburu berlebihan.

Di tahun pertama, mereka masih bisa berbincang dan tertawa bersama. Bito memang sudah duduk sebangku dengan Canting kala itu dan Ayung ... persis sama dengan posisi duduk dia sekarang, di belakang Bito. Menjelang kenaikan kelas, Ayung mulai bersikap kasar terhadap Canting, bahkan cenderung merundung. Untungnya, Canting lebih memilih untuk mengalah daripada meladeni polah cewek manja itu.

[Amat kan nggak bodo, Cinta! Dia juara dua, lho.] Ayung mencoba melucu.

[Ha ha ha. Nggak lucu! Tapi, aku besok nggak bisa lama-lama lho, ya. Aku cuma punya waktu setengah jam. Habis itu aku harus berangkat les.]

[Tenang, Cinta. Satu detik begitu berarti kalau aku sama kamu. Eaaa!]

Bukan Ayung namanya, kalau begitu mudah menyerah. Setengah jam besok siang, pasti bakal molor. Dia tidak akan menyia-nyiakan kencan pertamanya hingga hancur begitu saja. Bahkan, cewek perayu ulung itu akan membujuk Bito untuk bolos les, kalau bisa.

Harus bisa! Ayung menyemangati diri sendiri. Kesempatan langka, tidak boleh dia sia-siakan. Belum tentu momen ini akan datang lagi dalam waktu dekat.

Ayung memutar lagi rekaman tadi siang ketika dia tanpa sengaja melihat Deril dan Canting di bioskop. Mereka terlihat mesra. Tatapan Canting jelas menunjukkan kalau cewek itu sangat memuja Deril, sama seperti dia memuja Bito. Tidak salah lagi!

Kayaknya, aku harus mengakhiri permusuhanku sama Canting, deh. Yang ada, aku harus berteman sama dia biar bisa ngawasin perkembangan cintanya sama Deril. Kalau perlu, aku bantu dia biar bisa cepet jadian. Biar Bito aman.       



Impossible EscapeWhere stories live. Discover now