Bab 2

55 19 16
                                    

Tubuh Bito segera merapat ke arah Canting. Jemarinya yang lentik, kurus panjang, menggenggam lengan cewek itu kuat-kuat. Aroma seperti kopi, tiba-tiba menyeruak ke seisi ruangan.

"Bit, kamu tahu nggak, kalau ada bau kopi atau singkong dibakar itu, biasanya ada genderuwo yang datang," bisik Canting dengan wajah tegang.

"Iya. Aku juga pernah dengar itu, sih. Tapi, ini siang bolong, Can. Mana ada hantu siang-siang gini. Hantu begadang? Kan, mereka itu tidurnya siang." Bito menjawab dengan suara yang tidak kalah lirih.

"Dor!" Canting berteriak kencang, membuat cowok di sebelahnya langsung terlonjak.

"Sialan kamu! Bikin kaget saja!" rutuk Bito sambil mengerucutkan bibir dengan manja.

"Satu sama. Kan, tadi kamu juga ngagetin aku." Cewek dengan rambut dikepang kuda itu tertawa kecil.

Ah, rupanya aku belum lupa caranya tertawa, ucap Canting di dalam hati. Entah, sudah berapa lama dia tidak pernah tertawa. Dunianya begitu pirau selama dua belas tahun belakangan.

"Itu asap vape, rokok palsu. Bukan bau genderuwo." Canting kembali terkekeh-kekeh.

Bito tidak hanya punya wajah seperti perempuan, tetapi ternyata juga takut hantu seperti kebanyakan anak cewek.

"Terus, siapa yang menghisap vape di bawah?" tanya Bito penasaran.

Canting lantas menjelaskan kalau ada satu siswa dari sekolah mereka yang juga sering datang ke rumah tua itu. Dia pasti menyendiri di kamar bawah atau halaman belakang. Deril, anak XII-IPS 5 yang terkenal bandel dan sering bolos.

Sudah hampir tiga tahun Canting dan Deril menghabiskan waktu di rumah tua itu. Mereka beberapa kali bertegur sapa ketika tanpa sengaja saling berpapasan. Namun, mereka belum pernah berbincang, apalagi duduk bersama dalam jangka waktu yang lama. Keduanya seolah-olah punya teritorial sendiri di bangunan itu dan sepakat untuk tidak saling mengganggu. Kesepakatan yang dibuat dari hati, tanpa ada kalimat yang terucap sama sekali.

Tadinya, Deril menghisap rokok kretek biasa. Namun, dia sempat mendengar Canting terbatuk beberapa kali di kamar atas akibat asap tebal yang keluar dari bibir hitamnya. Karena itulah, cowok dengan anting di telinga kiri itu kemudian beralih ke vape ketika menepi di rumah tua, markas rahasia mereka.

"Hati-hati, lho. Anak itu sudah terkenal bengal. Kamu tidak takut kalau nanti dia berbuat jahat sama kamu?" Bito beranjak dari samping Canting.

Dia berusaha mengintip Deril dari lubang di lantai. Meskipun satu sekolah, dia jarang melihat cowok itu. Maklum saja, Bito lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kelas atau perpustakaan. Dua tempat yang membuat dia terhindar dari gangguan siswa jahil.

Dia sangat menghindari kantin. Nasibnya tidak pernah bagus kalau makan di sana. Selalu saja ada siswa yang tergoda untuk menjahili dia. Bito jadi lebih suka membawa bekal dari rumah.

"Dia anak baik, kok. Nggak seperti yang dipikir orang-orang." Canting tersenyum, mengingat pengorbanan Deril yang rela beralih ke vape ketika berada di markas rahasia, demi dirinya.

"Dih, baik dari Hong Kong! Tukang bolos, perokok berat, suka mabuk, mana bisa dibilang anak baik. Untung saja dia masih bisa naik kelas. Cowok Madesu," protes Bito yang menahan kesal karena Canting terkesan sangat mengagumi anak itu. Dadanya terasa memanas.

"Apa itu?" tanya Canting.

"Masa Depan Suram!"

Bito melangkah keluar dari ruangan. Dia ingin menemui Deril secara langsung. Dia ingin tahu, cowok macam apa yang telah membuat Canting tersenyum manis seperti tadi. Meskipun samar, dia tetap bisa menangkap seutas senyum tipis itu terlukis di bibir merah alami milik Canting. Apa kurangnya dia jika dibandingkan dengan Deril? Jawaban itu yang harus segera Bito dapatkan.

"Apa lo?" Deril menatap tidak senang ke arah Bito yang sekarang berdiri di ambang pintu. Dia menarik earphone bluetooth dari kedua telinga yang tertutup rambut belah tengah semi gondrong itu.

"Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau kenalan saja." Dengan santai, Bito masuk ke ruangan, lalu duduk di depan Deril.

"Cih! Gue nggak butuh kenalan sama lo. Sana! Sesama cewek kumpulnya di atas. Ini khusus buat cowok macho," ledek Deril.

Tentu saja dia tahu siapa Bito. Sudah berkali-kali cowok itu maju ketika upacara untuk menerima piala atau penghargaan lain dari kepala sekolah. Wajahnya jadi sangat familier. Apalagi, wajah cantik itu memang tergolong unik dan satu-satunya di sekolah mereka.

"Sialan!" umpat Bito.

Bito memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati penampilan Deril. Cowok lusuh, jauh kalau dibandingkan dengan dirinya. Wajah Deril sebenarnya lumayan tampan, tetapi tampak tidak terurus sehingga muncul jerawat kecil di beberapa bagian. Jerawat, hal yang bisa membuat Bito panik setengah mati. Satu jerawat kecil sama artinya dengan sejumput keresahan.

"Berapa tinggi badan kamu?" tanya Bito penasaran.

Menaksir panjang kaki Deril yang sedang duduk berselonjor, mestinya cowok itu tidak lebih tinggi dari dirinya. Kata orang, perempuan itu suka pria tinggi. Bito menang satu poin dari sisi ini.

"Ngapain lo nanya-nanya? Sana, pergi!" Deril berteriak kesal.

"Bito, ayo!" Canting tiba-tiba muncul dan menarik kerah baju Bito agar segera berdiri.

"Aduh! Sabar, dong. Aku belum selesai bicara sama dia," protes Bito yang terpaksa berdiri agar lehernya tidak sampai tercekik.

"Bawa pergi pacar cantik lo itu."

Kali ini, ucapan Deril terdengar lebih lembut daripada tadi. Pacar cantik? Bito dan Canting langsung mematung. Siapa yang dimaksud oleh cowok itu dengan pacar cantik?

Apa dia memuji aku cantik? pikir Canting sambil tersipu malu. Eh, tapi aku kan bukan pacarnya Bito. Gawat kalau sampai Deril salah mengerti.

Ahai! Dia pikir Canting itu pacarku! Aman kalau begitu, batin Bito kegirangan.

"Baguslah," ucap Bito yang langsung menggamit lengan Canting, berniat mengajak cewek berdagu runcing itu untuk kembali ke kamar atas.

"Tunggu dulu." Canting menepis tangan Bito.

"Aku ini ... bu—bukan pacar Bito." Cewek itu terbata-bata.

"Terserah! Lo berdua jangan ganggu gue. Sana!" Deril memberi tanda dengan mengibaskan tangan.

Dua manusia di depan Deril itu sama-sama salah sangka. Yang dimaksud dengan pacar cantik itu adalah Bito. Deril tadi berbicara kepada Canting agar membawa pergi cowok cantik itu dari hadapannya. Dia tidak suka diganggu. Sepi merupakan satu kenikmatan ketika dunia kita sudah terlampau gaduh serta riuh dengan pertengkaran.

"Ayo!" Bito menarik paksa lengan Canting dan membawanya pergi dari ruangan itu.

"Cowok kasar seperti itu, buat apa kamu ajak bicara?" protes Bito ketika mereka mulai menaiki tangga.

"Aku juga bukan orang yang nyenengin buat diajak bicara. Kenapa kamu mau jadi temanku?" Canting balik bertanya.

Aku bukan mau jadi teman, tapi pacar kamu! teriak Bito. Sayang, hanya berani di dalam hati.

"Kamu naksir dia, ya?" Alih-alih menjawab pertanyaan, Bito malah mengajukan pertanyaan lain. 

***

Apa cuman aku yang selalu bingung nulis author note sama pengumuman kek mana? Wkwkwk. Paling nggak bisa basa-basi soalnya. Hahaha. 

 

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
Impossible EscapeUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum