Bab 22

19 7 8
                                    

Canting terkejut dengan penawaran Ayung barusan. Itu ide bagus, sih. Bukankah Bito selama ini lebih terbuka berkomunikasi dengan dia daripada ke Ayung? Jadi, dia bisa lebih mudah untuk membujuk Bito agar mau membuka hati ke cewek itu. Nah, kalau Deril?

"Tapi ... kamu kan ... nggak kenal sama Deril, Yung," ucap Canting pelan.

"Tenang. Kenalan sama dia, apa susahnya, sih? Kan, kamu juga bisa kenalin aku. Selebihnya, aku yang bakal gerilya buat ngedeketin kamu sama dia."

Dua cewek itu saling melempar senyum. Memang mustahil bagi Canting untuk bisa menyatakan perasaannya ke Deril. Dia tidak seberani Ayung. Pun dia tidak cukup percaya diri.

Deril itu idola banyak cewek di sekolah mereka meski terkenal badung. Dia tidak disukai para guru, tetapi dikagumi oleh banyak murid. Gaya yang cool dan jadi anak band, sudah cukup untuk menjadikan dia tenar. Canting bukan siapa-siapa kalau dibandingkan cowok itu.

"Can, aku ini hidup sendirian di rumah. Momom sama Daddy aku lebih banyak di luar kota atau bahkan di luar negeri buat urus bisnis mereka. Mereka benar-benar nggak punya waktu buat aku. Sebulan paling ketemu cuma beberapa hari aja. Sepi," keluh Ayung tiba-tiba.

Canting menatap heran, sekaligus kasihan. Tidak ada hujan dan tidak ada angin, kenapa tiba-tiba cewek itu curcol? Lagi pula, mana yang sebenarnya lebih menyakitkan? Punya orang tua, tetapi entah ke mana seperti yang dia alami atau tahu keberadaanya, tetapi terabaikan seperti kasus Ayung?

"Aku tahu bagaimana rasanya." Canting tersenyum tipis, sekaligus miris.

"Maksudmu? Orang tuamu kayak gitu juga?" pancing Ayung agar cewek di depannya itu mau bercertia lebih banyak lagi.

"Orang dewasa hanya memikirkan kepentingan dan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka nggak pernah peduli sama kita. Itu yang aku rasakan selama ini." Canting tidak ingin bercerita jauh tentang tragedi keluarganya. Cukup tentang perasaan dia saja.

"Betul banget. Aku juga ngerasanya kayak gitu, sih. Mereka itu egois. Yang penting mereka happy, udah. Bodo amat sama urusan yang lain. Otak orang dewasa isinya cuma duit. Duit itu segalanya buat mereka." Ayung mendengkus kesal. Tangannya langsung dilipat di depan dada, menandakan kekecewaan luar biasa.

"Itulah alasannya, kenapa aku benci orang dewasa. Kalau bisa, aku mau selamanya jadi remaja. Aku nggak mau berubah menyebalkan seperti mereka."

"Eh, kok bisa sama, Can? Aku juga. Males banget jadi orang dewasa. Munafik! Pamer keluarga bahagia, padahal kami ini nggak layak disebut keluarga," gerutu Ayung dengan bibir manyun.

Kamu masih beruntung, Yung. Setidaknya, keluargamu mengakui keberadaanmu. Kalau aku? ucap Canting di dalam hati.

"Aku minta nomor HP kamu, dong." Ayung mengulurkan ponsel miliknya.

"Oke."

Ketika Canting sedang asyik menarikan jemari di layar ponsel Ayung, Bito bersama beberapa siswa masuk ke kelas. Dia menatap heran ke arah dua cewek yang biasanya bermusuhan. Kali ini dua orang itu seperti duduk dan berbincang berdua. Mereka terlihat akrab.

"Pagi, Cinta!" Ayung langsung menyapa, setengah berteriak.

"Aish!" desis Bito kesal.

"Cie cie, yang langsung disambut sama pujaan hati," kelakar salah satu teman sekelas.

Bito tidak mau menjawab. Cowok dengan terus saja melangkah. Sorot matanya tetap tajam, tetapi bukan ke arah Ayung melainkan Canting. Dia heran, kenapa ponsel Ayung ada di tangan Canting?

"Pagi, Cinta!" Ayung mengulang lagi sapaan mesranya ketika Bito sudah berdiri di dekat bangkunya.

"Cinta, cinta, gundulmu itu!" rutuk Bito yang langsung melepas tas punggung dan meletakkannya ke meja.

"Itu HP Mak Lampir, kenapa kamu pegang?" Cowok itu menghempaskan tubuh dengan kesal.

"Dih, tadi dibilang gundul, sekarang Mak Lampir. Jahat banget sih kamu ini, Cinta!" Ayung benar-benar kesal. Dia menggeser tubuh, kembali ke bangkunya sendiri, di belakang Bito.

"Nggak jadi aku kasih tahu, deh. Acara makan siang nanti, batal!" imbuh cewek itu, merajuk.

"Eh, jangan dong, Yung. Aku cuma bercanda, kok. Masa begitu saja marah." Bito langsung menoleh ke belakang dan memasang senyum manis dengan bibir merahnya.

"Cie, cie. Ada yang mau kencan, ya," goda Canting, sekalian untuk mencairkan suasana.

Benar saja. Ayung langsung senyum-senyum malu, tidak jadi marah. Kalimat tadi sebenarnya hanya ancaman kosong. Mana mungkin dia mau menyia-nyiakan kesempatan. Kencan pertama tidak boleh gagal.

"Bukan kencan. Enak saja! Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan sama dia. Kamu jangan cemburu dong, Can." Bito mengelak sembari balas meledek.

"Dih, kenapa aku harus cemburu? Justru aku ikut senang kalau kalian memang bisa jadian. Amin!" Canting melirik sekilas ke arah Ayung yang makin tersipu-sipu.

"Aish! Siapa juga yang mau jadian sama dia." Bito langsung melotot.

"Makasih ya, Can. Doakan hubungan kami bisa langgeng, kayak bluetooth yang selalu terkoneksi." Ayung menjawab manja.

"Heh, hubungan apa! Jadian juga nggak." Bito langsung protes. "Jangan aneh-aneh, deh!"

"Belum, Cinta. Bukan nggak." Ayung masih saja bersikukuh.

"Terserah kamu!" jawab Bito sewot.

"Oh, jadi terserah aku? Ya udah, kita jadian aja. Can, kamu jadi saksinya, ya." Ayung langsung bersorak.

"Cewek gila! Nggak waras! Sinting! Edan!" Bito terus merutuk berkali-kali. Dia benar-benar tidak habis pikir. Kok, bisa ... ada siswa kurang waras diterima di sekolah mereka.

"Aku memang gila. Gila karena cinta dan menggilaimu." Ayung tertawa keras. Dia tidak pernah marah dengan ucap serta sikap kasar dari cowok pujaan hati. Selagi Bito mau memberikan reaksi, itu sudah sangat membahagiakan. Bukankah itu lebih baik daripada diabaikan? Penolakan merupakan salah satu wujud perhatian. Setidaknya, keberadaan kita masih dianggap. Bukan sirna tanpa jejak.

"Aish!" Bito hanya bisa mendesis kesal setiap kali berdebat dengan Ayung. Dia tidak sepandai Ayung dalam berkelit dan beradu argumen.

Canting hanya tertawa melihat kelakuan dua teman sekelasnya. Benci dan cinta itu beda tipis. Keduanya sama-sama punya kesan mendalam di dalam hati. Ketika benci atau cinta itu hilang, pasti akan terasa ada yang kurang. Apalagi, ketika kebencian atau kecintaan terhadap sesuatu atau seseorang itu sudah menjadi rutinitas dalam kehidupan kita.

Benci dan cinta itu sepertinya berada di lubang yang sama. Makanya, benci sangat mudah berubah menjadi cinta dan begitu juga sebaliknya, ketika kita terjatuh di dalamnya. Hati-hati. Kalau terlalu membenci, nanti lama-lama bisa jadi terlalu mencintai. Jika kita terlalu mencinta, suatu saat nanti bisa jadi amat membencinya ketika terluka atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan.

"Pulang sekolah nanti, kamu ke mana?" Bito mengalihkan pembicaraan.

"Aku? Paling ke rumah tua," jawab Canting.

"Eh, rumah tua apa, nih? Cerita, dong!" Ayung langsung menyela.

"Aish! Wanna know aja!" Bito menatap sengit.

"Bit, itu kan sloganku," protes Canting.

"Pinjam. Pelit amat!" Bito sewot.

"Dikembalikan lho, ya. Awas kalau nggak." Canting tertawa pelan.

"Hello .... Anybody home? Pertanyaanku tadi belum dijawab, lho." Ayung masih menatap penasaran.

" Ayung masih menatap penasaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Impossible EscapeWhere stories live. Discover now