24. Frustration

12 2 0
                                    

🗣️❤️👩🏻‍💻

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🗣️❤️👩🏻‍💻

"Selamat untuk kalian semua karena sudah berhasil menyelesaikan pelatihan OSIS tahun ini dengan baik, kalian akan dilantik dan menjadi anggota OSIS secara resmi pada hari Senin minggu depan. Kalian boleh pulang sekarang," ujar Pak Tama menutup kegiatan kami sore ini.

Tidak terasa matahari sudah mulai turun perlahan meninggalkan cahaya berwarna jingga di langit. Cukup melelahkan dan membosankan mendengar presentasi program dari tiap-tiap bidang. Walau begitu, aku masih bersemangat menjadi anggota OSIS.

"Pulang, yuk!" ajak Lauza padaku dan Rhea saat melihat pintu keluar sudah mulai sepi. Memang siswa lain sudah pada keluar, tetapi karena tidak ingin berdesak-desakkan, aku dan kedua sahabatku memilih menunggu sebentar.

Aku dan Rhea mengangguk setuju. Ketika kami sedang sibuk merapikan barang-barang dan memasukkannya kembali ke dalam tas, aku menyadari sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikiranku dan akhirnya bertanya kepada mereka, "Anak kelas dua belas kok nggak ikut pelatihan, ya?"

"Lah? Ngapain mereka ikut? Kan udah mau lulus," jawab Lauza dengan nada bingung.

"Jadi, yang kelas dua belas OSIS nggak perlu ikut pelatihan lagi, ya?" tanyaku memastikan.

Lauza dan Rhea langsung menatapku dengan tatapan bingung dan kaget. Rhea menepuk bahuku sejenak, lalu berkata, "Lean, nggak ada anggota OSIS tahun ajaran ini yang duduk di kelas dua belas."

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rhea bagaikan petir menyambar tubuhku. Apa kalian tahu sebuah petir itu berkekuatan 500 juta Volt? Ya, sebesar itu dan aku baru saja disambar petir.

Efek dari disambar petir adalah gagal napas dan jantung yang berhenti. Kedua efek tersebut bisa membuat seseorang meninggal. Kini aku sedang mengalami kedua efek tersebut. Aku berhenti bernapas dan jantungku rasanya berhenti berdetak.

"You're kidding, right?" tanyaku dengan suara lirih yang bergetar sambil menatap ke lantai.

Tatapanku kosong. Seakan malaikat pencabut nyawa baru saja menarik ragaku keluar dari tubuh. Benar-benar terasa seperti mayat hidup.

"Lean, are you okay?" tanya Rhea yang terdengar khawatir padaku.

Mulutku menutup diri. Tidak ingin mengeluarkan suara sedikit pun. Aku yang tadinya berdiri memilih kembali duduk karena rasanya kakiku mulai bergetar.

Tetes air mata mulai turun dari mataku. Tawa miris ikut keluar dari bibirku. "This can't be fucking happening," seruku sambil menatap Rhea dan Lauza dengan penuh amarah.

"Woah, woah, okay, Lean. Jangan teriak, please!" pinta Lauza yang meringis melihat keadaanku. Rhea melihat ke arah pintu, sepertinya untuk memastikan apakah ada orang yang akan kembali masuk ke ruang auditorium atau tidak.

"Iya, sekarang di sini emang nggak ada orang, tapi kalau lu berisik nanti orang pada masuk, Lean," imbuh Rhea. Ia terlihat panik melihatku menangis sambil tertawa seperti orang gila.

The Rumor TaleWhere stories live. Discover now