12. Not Giving Up

46 12 95
                                    

🗣️❤️👩🏻‍💻

Otakku berhasil menetap di tempatnya dalam keadaan utuh setelah melalui pembelajaran berikutnya, hanya sedikit berasap saja. Namun, aku belum bisa bernapas lega karena masih harus menemui Nyle dan mencoba berbicara dengannya. Saat bel istirahat kedua berbunyi, aku tidak langsung berjalan ke kelas sebelah. Aku diam dan merenung sejenak. Rasa takut dan gugup bercampur menjadi satu dalam darah yang mengalir di nadiku.

Walau sudah mempersiapkan rencana baru yang semoga berhasil, tidak membuatku merasa lebih baik. Pengalamanku dalam membangun pertemanan pun tidak membuat perasaan takut dan gugup itu hilang. They said practice makes perfect. Sudah banyak latihan yang kulakukan dan aku masih saja merasa tidak sempurna.

Ah ... sepertinya aku terlalu banyak berpikir. Tidak akan ada yang tahu bagaimana hasilnya bila aku tidak kembali mencoba, bukan? Telapak tanganku mengusap wajahku yang begitu letih akibat mengerutkan dahi terlalu sering.

Setelah merasa berhasil mengontrol emosi dan pikiranku, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju kantin untuk membeli makanan sebagai penawaran awal agar Nyle mau berbincang denganku.

Ada lima penjual utama di kantin WHS. Satu menjual minuman dan sisanya makanan. Aku berpikir untuk membelikan Nyle sebuah camilan, tetapi aku tidak tahu ia suka apa.

Memori otakku dibuka secara paksa dan mengingat-ingat kembali apa saja yang Nyle posting di sosial medianya. Sepertinya Nyle tidak pernah memposting foto-foto makanan yang ia makan, ini artinya aku harus bergerak tanpa bisa melihat.

Agar tidak salah membeli makanan, aku memilih untuk membeli camilan yang akan disukai semua orang dan semoga tidak menimbulkan alergi. Kutatap semua jenis camilan yang ada di setiap penjual makanan dan aku memilih untuk membeli kentang goreng di penjual nomor dua.

Kentang goreng tidak hanya dijual oleh penjual nomor dua, tetapi kentang goreng favoritku ada di situ. Semoga saja Nyle suka dengan kentang goreng bertabur garam di atasnya.

Kala pesananku sudah selesai, aku membayar dan langsung kembali ke lantai satu. Pintu dengan papan tanda bertuliskan 10 MIPA 2 kini sudah berada di depan mataku.

Kuhirup oksigen sebanyak yang kubisa, lalu melangkah masuk ketika oksigen sudah berubah menjadi karbon dioksida. Terlihat Nyle sedang duduk di mejanya sendiri sambil menulis sesuatu di buku tulis. Tebakanku, itu adalah pekerjaan rumah yang belum selesai.

Murid-murid kelasku memang sering begitu juga, tidak sedikit yang menyalin atau baru mengerjakan PR di sekolah pada jam istirahat.

"Hai, Nyle!" sapaku dengan level antusiasme yang cukup tinggi. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menarik bangku di sampingnya untuk mendekati posisi Nyle dan duduk di situ.

Ia hanya melirikku sejenak, lalu kembali fokus pada buku tulis di depannya. Tak ingin membuatnya mengabaikanku lagi, membuatku langsung menunjukkan kentang goreng yang kubeli tadi.

"Gue beli ini buat lu, mau nggak?" tanyaku sambil tersenyum, berusaha membuat percakapan-percakapan kecil yang semoga membuahkan relasi pertemanan.

Berhasil! Asap kentang goreng yang baru saja kubeli menarik perhatian Nyle yang hanya sibuk dengan buku tulisnya. "Mau apa?" tanya Nyle secara langsung. Mendengar suaranya yang akhirnya keluar membuatku hampir saja tersedak.

"I feel like we started off on the wrong foot yesterday ... dan gue mau minta maaf atas kejadian kemarin," ucapku dengan nada pelan, tetapi tetap jelas. Tidak lupa aku memasang raut wajah bersalah yang tulus agar permintaan maafku lebih mengena di hati.

"Harusnya gue nggak langsung ngomel-ngomel gitu aja. Kemarin tuh gue kecapekan, makanya jadi gampang emosi. Maaf, ya?" lanjutku menjelaskan alasan di balik sifat buruk yang muncul kemarin sekaligus meminta maaf kembali.

The Rumor TaleWhere stories live. Discover now