DUA PULUH : Terjebak Di Loteng

Comenzar desde el principio
                                    

Pintu utama rumah ini tak dikunci, jadi aku seperti maling berkedok pemilik rumah yang nyelonong ke dalam dan berjelajah untuk cari keberadaan Anan. Agak sulit, soalnya rumah ini tak sama seperti isi rumah Jo yang sudah melekat di otakku setiap detailnya. Bahkan di sana, aku tahu di mana letak kaos kaki Jo ketimbang pemiliknya yang lupa di mana Bundanya meletakkan benda itu.

Tapi di sini beda, aku mungkin seperti diantar ke sebuah gedung sekolah untuk pertama kali. Ketika kocar-kacir cari ruang guru, dan juga malu tanya-tanya ke orang karena sangat introvert di suasana baru.

"Anaaaaan!" Karena Anan bukan orang baru, maka aku bukan si introvert.

"Sini!" Sesuai jawaban Anan, ternyata portal menuju loteng ada di paling ujung setelah melewati kamarnya dan juga kamar Tante Ratna. Sebuah tangga kayu menjulang ke atas, lalu ada celah persegi yang menyimpan kebutaan di sana. Alias aku tidak bisa lihat apa-apa selain kegelapan.

"Kenapa gelap?" kutanya dari bawah.

"Ini lagi gue cari saklarnya," jawab Anan dari atas, "Lu enggak usah ikut naik, mending obrak-abrik dapur dan bikinin gue makan. Lapar ceunah."

Oh sayang sekali, aku sudah di anak tangga terakhir dan menongol lewat celah persegi yang terbukanya ditahan pakai sebatang balok. "Ngapa ...."

"Astaghfirullah! Allahu Akbar! Andira, kampang lu syaland!"

Aku tergelak lihat ekspresinya seperti menangkap penampakan hantu, meski mungkin saja itu yang terjadi ketika kepalaku timbul di balik jalan masuk loteng ini. "Mau cari apa lu di sini?" Aku menumpu dagu di permukaan lantai, agak lucu lihat Anan berjongkok karena tempat ini diciptakan berlangit sempit hingga tidak mungkin kami bisa berdiri.

"Cari nafkah, Dir." Tanpa perduli kehadiranku yang juga rewel mau ikut-ikutan, Anan mungkin tak sadar bahwa aku sudah berada di belakangnya.

"Allahu Akbar! Andiraaa!" Dia mendorong bahuku saat menyadarinya, bahkan melempar ponselnya hingga cahaya dari sana tertutup ke arah lantai. "Ngapain ikut masuk?" tanyanya.

"Siapa tau ada harta karun di sini, kalo beneran, kita bisa kaya tanpa ngepet," jawabku yang mulai obrak-abrik kotak di dekat kami.

Kurasa Anan hanya menghela napas, lalu tap tap dinding loteng untuk tombol lampu yang sebelumnya sempat juga menggeplak kepalaku. Dengan cahaya dari ponselnya, bolak-balik ada tertabrak mengenai wajahku. Jadi meski pun hanya lampu kecil yang diperjuangkan, dan kalau dinyalakan pada tempat sempit dan kecil begini, pasti cahayanya cukup mampu untuk menerangi kami.

"Sip, dapat." Anan menciptakan sebuah bunyi yang terdengar tlek ketika ditekan, namun tak ada perubahan sama sekali bahkan ketika wajahku sempat semringah untuk menantinya. "Lah? Mati kali ya," tebaknya.

"Tadi kalo gak salah gue nabrak bohlamnya, bentar gue ...."

Brak!

Aku diam.

Anan juga diam.

Dalam gelap yang hanya dibantu cahaya ponsel, aku rasa kami berpandangan dalam makna yang berbeda. Pertama, si aku yang tak mengerti kenapa Anan tampak kaget dan mematung. Kedua, si Anan yang mungkin berkeinginan menempeleng kepalaku dengan mata yang melebar sempurna.

"Lo nyenggol baloknya?" Anan tanya.

"He'eum."

"Dan akhirnya ketutup?"

"Ya  ... emang apalagi? Kan enggak ada yang nahan bagian  ... bentar, bentar, ini enggak ada ganggang atau alat apa gitu buat dibuka lagi?" Aku mencoba menguir-nguir permukaan celah masuk ke sini yang sekarang telah menyatu sebagai lantai. "Ini cuma bisa kebuka  ...."

"Dari luar, Dir," potong Anan.

"Jadi, kita  ... hehe." Aku menyengir dalam suasana temaram, meski agak buram, setidaknya deretan gigiku yang putih bisa saja menembus penglihatan Anan kalau matanya dapat asupan vitamin E yang cukup.

"Kenapa lu harus ngikut sini, Andira."

Haduh percuma juga kalau mau lari, soalnya tempat ini hanya sepanjang tubuh Anan kalau dia berbaring. Atapnya setinggi kepala Anan juga ketika dia duduk, mau tak mau aku pasrah diomeli.

"Maaf, Anan." Sebagai manusia berbudi pekerti, aku juga harus tahu diri. "Tapi! Hal bagusnya lu enggak terjebak sendiri, 'kan ada gue." Sambil tersenyum dan menarik-turunkan kening, aku mencoba dogol agar Anan tidak marah-marah sekali.

"Masalahnya, siapa yang bakal bukain dari luar kalo kita berdua sama-sama di sini?" Anan mulai terlihat pasrah, tampak kakinya disilangkan untuk duduk bersila.

"Ya emang Tante Ratna  ...."

"Pulang besok malam," sela Anan.

"Hehe." Entahlah, aku juga tidak tahu mau melakukan apa. Sudah seperti penjahat yang melakukan tabrak lari saja. "Kita bisa minta tolong, Jo," ajuku kemudian.

Masih sama seperti kemarin-kemarin, kalau dengar nama Jo keluar dari mulutku, pasti Anan tidak mampu menutup ekspresi janggalnya yang membuatku seakan merasa bersalah. Tapi kalau tidak melibatkan Jo dalam masalah kami, aku juga akan merasa tak enak padanya karena tidak mengandalkan dia. Sementara sejak dulu, meski itu tentang bekicot yang sangkut di atas rambutku, aku akan meneriaki namanya untuk meminta pertolongan.

Mungkin ketergantunganku terhadap Jo akan selalu menjadi permasalahan yang membuat Anan merasa tersinggung. "Sebenarnya, kenapa lo sebegitu sensitifnya sama Jondara, Anan? Dia juga teman kita," kataku.

"Entahlah." Anan menumpu dagu pada kedua kakinya yang ditekuk dan dipeluk erat-erat. "Gue merasa jarang diandalkan oleh lu, Dir. Seakan Jondara yang terbaik, dan gue biasa-biasa aja," akunya.

"Anan." Aku mau tertawa mendengarnya. "Harus berapa kali gue  ... oke-oke, ayo kita selesaikan ini berdua. Menurut lu kita harus gimana?" tanyaku.

Anan pun menoleh, tampak memposisikan pipinya di atas lutut senyaman mungkin. "Diam aja dulu," katanya.

"Hah?"

"Gue mau berduaan sama lu, sebentar aja." Terdengar seperti pintaan, dan aku mengangguk. "Maaf kalau kesannya kayak ngemis." Tapi bukan begitu caraku memaknainya.

Maka kuposisikan diri untuk menyamai Anan, dalam pandangan yang berlawanan. "Lu tau, waktu lu pergi dan enggak pernah berkunjung ke sini. Setiap hari, gue kangeeeeeennn banget sama lu, Anan. Meski itu dihabiskan sama Jo, tetap dalam pikiran gue cuma ada lu. Tapi masalahnya, mana mungkin hal itu terbaca dan lu ketahui sementara terletak di dalam pikiran gue sana," kataku.

"Dan ketika lu kembali, bukan berarti rasa kangen gue berkurang. Intensitasnya tetap sama, bahkan terus bertambah sampai rasanya gue kehabisan wadah untuk menampungnya. Juga minusnya, semua terasa kacau karena lu melibatkan Renata untuk menguji gue. Tiba-tiba, rasanya terbaca jahat banget, Anan. Lu enggak bisa gitu sama cewek."

Anan berdecak. "Ujungnya, lu tetap anggap gue sebagai tokoh antagonis," katanya.

Aku menggeleng. "Karena gue cemburu," ucapku kemudian.

"Apaan tadi?" Sebenarnya kami sadar kalau tak ada yang bermasalah, telinga Anan pasti baik, mulutku juga lancar sekali mengungkapkannya. "Ulang," pintanya.

"Gue cemburu." Untuk yang kedua, mulutku agak kaku. "Karena lu cinta pertama gue." Mungkin aku sudah gila, soalnya Anan menempeleng kepalaku pakai botol plastik yang entah dia temukan dari mana.

tbc;

MAMPU✓ Donde viven las historias. Descúbrelo ahora