SEBELAS : Andira Halangan

Mulai dari awal
                                    

"Andira!" Aku masih mampu mendengar suara-suara yang silih berganti masuk telinga memanggil namaku, dan yang paling jelas adalah suara milik Anan. Namun, jauh dari sekedar daya telinga saja yang masih punya kemampuan minim, mataku juga samar menangkap seseorang yang tengah membawa tubuhku dalam dekapannya.

Orang itu adalah Jo.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Katanya kalau kita bohong, maka kebohongan itu bisa jadi kenyataan. Terus katanya juga, sekali terjadi akan lebih parah dari apa yang dibohongi sebelumnya. Ternyata benar. Kalian ingat kalau pagi tadi aku berkata sedang datang bulan pada Mama dan Kak Novan, bukan? Itu poinnya, dan sekarang imbasnya.

Bangun-bangun dari ketidaksadaran saat jam olahraga tadi, membuat mataku buyar saat terbuka. Keren, sejarah baru di mana aku lemah dan akhirnya merasakan apa itu yang namanya pingsan. "Aduh!" Dan rasa nyeri di perutku yang memungkinkan hal ini terjadi untuk kedua kalinya.

"Sakit perut?" tanya Anan, lagipula kehadirannya tidak membuatku kaget, sebab saat mencoba menyesuaikannya diri, aku tahu kalau dia ada di sini bersama Jo juga.

"Yang kena bola kepala lu, Dir, bukan perut." Tampak Jo begitu malas melihat apa yang terjadi padaku, maklum ya, aku terlalu banyak bercanda hingga ia pikir apa yang terjadi sekarang merupakan bagian dari itu juga.

"Perut gue nyeri," kataku, seraya bangkit dan turun dari kasur.

"Ngapain lu turun? Gimana kalo perut lu meledak?!" Aku tau Anan bicara begitu agar aku diam, ia juga membuatku menepis tangannya yang sempat meraih kuat bahu kananku.

"Lihat rok gue," ujarku sedikit menunjukkan sesuatu yang membuat mereka berdua kagetnya bukan main.

"Lu berdarah, anjir!" seru Anan, "Mba UKS! Ada yang keguguran  ...!"

"TOLOL!" Inginku jambak puncak kepala Anan karena ia nyaris berlari untuk menghampiri penjaga UKS. "Gue datang bulan woey lah!" kataku.

"Ngapain lu kasih lihat ke kami, Andira?" Terlihat jelas keinginan Jo yang jauh lebih besar ingin menghajarku, ia sampai menepuk jidat sebelum melepas jaket dari tubuhnya. "Pake!" katanya lagi, tapi Anan menghalangi hal itu dengan menarik lenganku agar menjauh dari Jo.

"Pake jaket gue aja!" ucapnya, pun terlihat kalau dia buru-buru melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Jo tadi.

Antara kedua jaket yang berbeda warna, nyatanya itu merupakan pilihan sulit dari sekedar mau seblak atau mie ayam. Bendanya sama-sama terulur pada dua tangan berbeda, sama-sama berada tepat di depanku, sama-sama mempunyai fungsi semirip guna menutupi kebocoran sel-sel darah yang semakin lama semakin banyak ini.

Namun, nyatanya Andira memang pantas disebut gadis bodoh dan tolol, karena aku justru menarik selimut dan melilitnya di pinggang sampai mampu menutupi bagian bawah hingga ke lutut. "Gak perlu, gue pake selimut aja," ujarku.

"Andiraaaa!" Anan dan Jo berbarengan ingin menempeleng kepalaku, tapi dengan gesit kutangkis dua tangan itu dan menatap mereka satu demi satu.

"Lu yang make, tapi gue yang malu," ujar Anan masih greget, "Pake aja jaket gue!" paksanya.

Aku tetap menggeleng. "Kalo gue pake jaket lu, nanti Jo marah. Dan kalo gue pake jaket Jo, nanti lu yang marah," ucapku.

"PD banget lu!" Jo menarik selimut dari pinggangku dan mengubah posisi hingga kami berhadapan. "Buat apa Anandra marah kalo lu pake jaket gue?" tanyanya dengan mengalungkan lengan jaket di pinggang dan mengikatnya di depan perutku.

Pertanyaan itu tidak salah, tapi aku juga 'tak menduga kalau Anan kembali menarik bahuku hingga sedikit menjauh dari Jo. "Gimana kalo gue marah karena lu pake jaket Jondara?" tanyanya.

MAMPU✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang