DELAPAN : Ada Rindu yang Tersampaikan

Začít od začátku
                                    

Namun aku tidak mau menyerah ya, kukejar dirinya hingga halaman rumahku berisi keributan baru antara kami berdua. Lama-lama ia tertawa, mengejekku karena tidak dapat meraihnya. "Sini gak lu!" Dan berujung aku yang kesal karena menerima wajah ganteng yang berusaha dijelek-jelekkannya itu, tapi namanya juga orang ganteng, mau dia olesi oli di wajah iya tetap saja ganteng.

"Kaki lu?" Anan kaget karena sadar kondisiku belum bisa dikatakan sembuh, ucapannya membuatku terdiam dengan kedua mata yang membulat sempurna.

Aku lupa, sungguh! Kakiku tiba-tiba terasa sangat sakit hingga perlahan aku terjatuh ke permukaan tanah. "Anan sakit!" rengekku yang membuatnya segera datang mendekat. Jujur, tadi saat lari-lari tidak terasa sakit, mungkin karena arah fokus hanya tertuju untuk menangkap Anan. Tapi sekarang, Ya Tuhan, kakiku terasa patah.

Anan menggendongku untuk menepi ke pelataran rumah, lalu ia masuk ke dalam untuk meminta apa saja yang bisa mengobati kakiku. Terlihat minyak urut yang biasa digunakan Mama untuk memijatku, Anan terlihat duduk di depan dan meraih bagian kaki yang ingin ia urus, diletakkannya di atas pangkuan dan mulai mengoleskannya.

"Maaf, Andira. Jangan nangis," katanya.

Terlihat Anan bingung mau berbuat apa, jadi dia hanya menekan kecil jari jempolnya secara naik turun di setiap elusan. Wajahnya begitu serius, seakan apa yang terjadi adalah karena salahnya. Padahal akunya saja yang babal jadi manusia. "Enggak apa-apa, Anan." Untuk sesaat, aku bisa melihat sosok Anan kecil di sini, suasana yang halus dan manis antara kami berdua.

"Udah enggak sakit, tadi syaraf gue kaget aja karena lu tegur." Kutarik bagian kaki yang berada di pangkuan Anan, lalu memintanya untuk kembali duduk di sebelahku. "Lu tau, gue ngerasa sedih di saat lu membandingkan diri sama Jo. Seakan kami enggak bisa nerima lu untuk bergabung, atau mungkin tentang gimana lu yang berharap mau sama gue aja tanpa adanya sosok Jondara. Tapi Anan, apa lu ingat gimana besarnya usaha kita dulu buat ngajak Jo main sama kita? Tentang sosok anak kecil yang dijaga sama Bundanya buat jangan keluar sama sekali," ujarku padanya.

"Dulu, di bawah pohon mangga tempat kita main dan ngelempar batu buat ngambil buahnya, gue nangis di sana. Berharap lu datang dan bilang jangan nangis, Andira. Tapi semakin hari, itu semua terasa kayak angan-angan doang, mungkin karena gue nangisnya ngegembel banget, tiba-tiba Jo keluar. Itu hari di mana dia pertama kali menginjak tanah bahkan tanpa alas kaki, dan itu juga jadi hari pertama di mana dia dimarahin sama Bundanya."

Anan terdiam, tampaknya ia hanya ingin menjadi pendengar setelah selama beberapa hari ini aku tidak pernah merespon keluh kesahnya.

"Bukannya takut sama Bunda Yohana, gue malah semakin menjadi-jadi main ke situ. Apalagi setelah nemuin Jo pernah keluar buat datangin gue, namanya anak-anak, gue semakin memancingnya main sama-sama. Sampai hal itu berhasil pas beliau lagi ke pasar. Gue sengaja bawa gayung sama sabun rinso, buat main gelembung, dan airnya kami dapat dari selokan depan rumahnya." Kulanjutkan cerita di mana Anan memang harus tahu cerita ini, agar dia juga tidak selalu salah paham akan diriku yang katanya mau melupakan dia karena sudah berteman sama Jo.

"Dia ketawa, bahkan kelihatan bahagia banget. Meski itu cuma permainan yang kami lakuin secara diam-diam, dan lu harus tau hal ini, waktu itu Jo nanya mana Anandra? Gue sempat diam, lama, bahkan bingung mau bilang apa. Karena waktu itu hanya satu yang gue tau tentang lu, Anan pergi, dan kalimat itu yang keluar dari bibir mungil gue." Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan ke arah rumah Jo, bagian kecil dari bumi yang punya banyak cerita tentang kami semua muncul di sana.

MAMPU✓ Kde žijí příběhy. Začni objevovat