"Belajar sosialisasi, jangan terlalu menutup diri, "

Helaan napas terdengar pelan dari Morana, "Pengen punya banyak teman, tapi kayak susah. Rasanya kayak mau uji nyali," tuturnya.

Elang hanya tertawa mendengar penuturan dari kekasihnya, memilih bangun dan berkata, "Ayo main air," ajaknya mengulurkan tangan, membantu Morana berdiri.

"Moran nggak bawa baju renang," kata Morana, ia hanya membawa satu set baju ganti, untuk berjaga-jaga.

"Nggak papa, nggak usah berenang, main di pinggir aja," ajak Elang menuntun Morana menuju bibir pantai.

"Kak Elang suka pantai?"

Elang mengangguk, "Suka," jawabnya.

Morana mendongak, melihat awan mendung yang berkumpul di sekitar pantai, "Kayaknya mau hujan," gumam Morana, menatap orang-orang yang sedang merapikan barang-barang mereka, bersiap meninggalkan pantai.

"Gerimis, ayo balik," Elang langsung menarik Morana, merapikan barang yang mereka bawa, segera menuju mobil.

"Kayaknya hujan badai," Morana tersentak saat suara petir tiba-tiba terdengar. Bersamaan dengan itu, hujan deras disertai angin kencang menerpa wilayah sekitar pantai.

Elang mengendarai mobilnya dengan pelan, menjauh dari sekitar pantai.

"Neduh di mobil atau cari penginapan?" tanya Elang, melihat jika tidak ada satupun toko yang buka, kemungkinan mereka akan terjebak badai cukup lama di sana.

"Emang masih jauh dari kota?" Morana menatap sekeliling, sudah gelap.

"Lumayan," Elang mengecek ponsel, memperlihatkan isi percakapan dengan Bagas, kalau hujan deras bukan hanya terjadi di sekitar pantai yang mereka kunjungi.

"Cari penginapan, deh." Morana menghubungi Amira, mengatakan kalau ia tidak bisa pulang karena terjebak hujan. Tentu saja, Amira khawatir, bukan pada hujan, melainkan pada Morana yang saat ini sedang bersama Elang, biar bagaimanapun, mereka belum sah, apalagi jauh dari pengawasan orang tua.

Morana mengikuti Elang, sedikit ragu jika bermalam bersama lawan jenis, mereka menaiki tangga menuju lantai dua penginapan.

Elang berbalik, menghadap Morana yang berdiri memeluk tas punggungnya, posturnya memperlihatkan kegelisahan yang kentara.

"Ini kamar kunci lo," Elang menyodorkan sebuah kunci, mereka berdiri tepat di depan pintu kamar penginapan yang akan ditempati Morana.

"Dan ini kamar gue, kalau ada apa-apa, langsung panggil," Morana mengangguk cepat.

Elang hanya tertawa, karena tau pikiran yang sempat terlintas di otak Morana.

"Nanti ada yang antar makan malam. Makan sendiri, nggak papa, kan?"

"Nggak papa," jawab Morana segera membuka pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

Puas melihat ruangan yang tidak terlalu luas itu, Morana segera menuju kamar mandi, membersihkan diri sebelum pelayan penginapan datang membawa makanan.

•°•°•

Pagi hari, Elang serta Morana baru saja selesai menikmati sarapan bersama.

"Tadi Ayah telpon, gue harus balik, ada kerjaan. Nggak papa, kan?" Elang memulai percakapan saat mereka sudah berada di mobil.

"Hari libur gini?"

"Iya, sekalian ada acara di rumah,"

"Ya udah," gumam Morana menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata, berharap cepat sampai ke rumah.

Elang yang melihat kekasihnya hanya diam, memilih meraih jemari Morana, menggenggamnya lembut.

"Minggu depan masih bisa, jangan ngambek gitu, dong," bujuk Elang, mengusap punggung tangan Morana, berharap kekasihnya mengerti.

"Bukan sekali dua kali, loh, udah berkali-kali kayak gini." Gumam Morana, bukannya tidak ingin mengerti posisi Elang, hanya saja, Morana merasa kalau Danuarta sengaja membuat Elang tidak memiliki waktu dengannya.

"Ngertiin posisi gue, Na."

"Moran selalu ngerti, saat Kak Elang ninggalin Moran sendirian di pasar malam karena kerjaan dari Om, saat Kak Elang batalin janji tiba-tiba, saat janjian di taman, dan berakhir Moran nunggu sendirian sampai tiga jam. Ngerti gimana lagi yang Kak Elang maksud?"

Elang diam, mencengkeram kemudi mobil dengan erat, ia tau, banyak kesalahan yang ia perbuat, tapi disisi lain, posisinya tidak memungkinkan untuk menolak perintah dari Ayahnya.

Elang menghentikan mobilnya di depan gerbang kediaman Ronal, memperhatikan Morana yang mengambil barang-barangnya.

"Besok, pulang sekolah gue jemput,"

Morana menutup pintu mobil, "Nggak usah janji, Kak Elang punya banyak urusan,"

"Na, i'm sorry. Please, ngerti posisi gue." Elang berkata dengan frustasi, mengacak rambutnya hingga berantakan.

Morana mengangguk, "Moran selalu ngerti. Mending berangkat sekarang, Om udah nungguin," ujar Morana, melirik ponsel di samping Elang yang berdering.

"Hati-hati," pesan Morana sebelum benar-benar meninggalkan Elang di sana.

Morana merebahkan tubuhnya setelah membersihkan diri, mengecek ponselnya yang sedari tadi sunyi.

"Na, ayo makan malam," Amira menghampiri Morana.

"Mami.." panggil Morana, memeluk Amira.

"Kenapa?"

"Moran mau cerita,"

"Elang lagi?" tebak Amira, mengusap rambut putrinya.

Morana mengangguk, ia memang sering menceritakan keluh kesahnya pada Amira, wanita itu selalu bisa menjadi penenang.

"Kenapa? Moran berantem sama Elang?"

Morana menggeleng, "Moran salah, ya, kalau minta Kak Elang selalu ada buat Moran. Padahal Kak Elang sibuk, tapi Moran malah nambah beban pikiran,"

"Dengar Mami, Moran punya kesibukan, Elang juga sama, jangan terlalu memaksa Elang untuk selalu ada buat Moran."

Morana mengangguk pelan, "Moran udah egois, ya?"

Amira berpikir sebentar, "Dikit," ujarnya.

"Mi.." keluh Morana.

"Sekarang udah tau, kan, salahnya di mana? Nanti, Moran sama Elang bicara lagi, banyakin komunikasi, supaya tau kemauan masing-masing, saling ngerti kesibukan pasangan itu gimana," pesan Amira.

"Ingat, kalau ketemu, minta maaf," tambahnya. Mau tak mau, Morana mengangguk lesu.

"Ya udah, ayo makan malam. Papi udah nunggu lama di bawah," Morana segera menyusul Amira ke meja makan, sebelum membuat Ronal harus menunggu lebih lama lagi.

•°•°•

See you next chapter♡

MORANA DUVESSA Where stories live. Discover now