TIGA : Mie Kuah dan Raket

Start from the beginning
                                    

"Coba ganti kek bajunya, perasaan itu mulu yang dipake. Pernah dicuci gak sih, Kak?" tanyaku melewatinya yang baru saja merebahkan diri di depan televisi.

"Weh, bawa apa tuh?!" Dan Kak Novan bangkit mau menerkam adiknya ini, tapi kuhalangi dengan angkat satu kaki seakan memberi kode jangan maju atau tak tendang.

"Buat, Jo," jawabku.

Ia tersenyum nakal. "Ma, Andira masak buat calon suaminya nih!" teriaknya yang membuatku ingin menumpahkan kuah panas di mangkuk bawaanku ini ke wajahnya.

Lantaran Kak Novan masih keramaian sendiri melaporkan berita 'tak berguna itu, terus kulangkahkan kaki hingga sekarang sudah berada di tengah halaman rumah. Jika saja seorang Anandra tidak menongkrong di pelatarannya, mungkin kakiku akan terus lurus ke rumah seberang. Sayangnya, tampak hari ini bukan rezeki Jo, sebab kakiku justru berbelok ke kiri menuju rumah Anan.

"Anaaannnn!" sapaku heboh, rasanya mau lari dan buru-buru ke dekat dia, tapi kalau kulakukan bisa-bisa apa yang kubawa jadi makanan semut dan cacing. "Gue bawa mangkuk buat lu!"

Tolol sekali tidak sih? Anan juga pasti sudah lihat sebelumnya kalau yang ada ditanganku adalah mangkuk, dan entah kenapa mulutku jadi mengeluarkan kata yang tidak diperlukan itu. "Nih, masih anget loh!" ujarku mengulurkan tangan.

Anan memang fokus ponsel saja, ia baru melihatku lagi saat posisi kami sudah hanya dibatasi uluran tangan dan semangkuk mie kuah. "Enggak lapar, lu kasih ke Mama aja," ucapnya.

"Tapi ini buat lu, enak tau. Jo aja ketagihan sama buatan gue ini!"

"Ya udah kasih ke Jondara."

"Tapi ini buat lu."

"Gue gak suka mie."

"Kalo makan yang ini lu bakal suka, Anan."

Anan menghela napas, lalu ia menepuk pelan sisi lain di dekatnya untuk memintaku duduk. Secepatnya, aku memposisikan diri senyaman mungkin dan meletakkan mangkuk ke bawah sebagai batas antara kami berdua lagi. "Coba deh," kataku bersemangat.

Ia tidak menyahut, tapi langsung memegang sendok dan garpu yang memang sudah jadi temannya mangkuk. Kutatap wajah terpaksa itu dengan seksama, soalnya aku penasaran kalau orang ganteng makan bakal seperti apa.

"Jangan liatin gue bisa gak sih lu?" tanyanya dengan pergerakan yang terjeda.

Aku menggeleng. "Enggak bisa," kataku yang lagi-lagi membuat napas beratnya terasa nyata.

Satu suapan masuk ke dalam mulutnya, sebelum itu dia tiup dulu, tidak seperti Jo yang makannya seperti sapi. "Gimana?" tanyaku.

"Rasa mie," jawab Anan dengan menggantikan mangkuk bawaanku dalam tangannya, ponsel yang semula dipegang tadi langsung ditaruh ke lantai. Kemudian ia lanjut menikmati mie tersebut dan berkata, "Kegabutan lu berguna juga ya, Dir. Gue pikir lu cuma anak kecil yang suka ngajak gue nyolong mangga."

Tiba-tiba saja, aku jadi memikirkan hal itu. "Gimana kalo kita  ...."

"Enggak ya! Lu mau menghancurkan harga diri gue sebagai pendatang baru?" Anan ingin menghajarku pakai garpu, sedikit lagi permukaan jidatku mengenai ujungnya. "Lu enggak berubah ya, Andira," ujarnya lagi.

Aku tersenyum, sedikit menunduk guna memendam apa yang mau kututupi pada Anan. Di matanya sosok Andira ternyata tetap sama, tapi di mataku, sosok Anandra sedikit berubah. Dia bukan seseorang yang kukenal dulu, lagian benar kata Jo, mustahil manusia bertahan dengan satu kebiasaan yang sama. Seseorang bisa berubah, tapi menurutku perubahan Anan terlalu jauh, dan sayangnya aku belum bisa menangkap penuh di bagian mana perubahan itu sepenuhnya.

MAMPU✓ Where stories live. Discover now