40. TERUNGKAP

56 3 1
                                    

“Gak usah deket-deket anjir, napas lo bau azab!” cibir Gilang.

Mendengar ucapan Gilang, Boby sontak memundurkan wajahnya kemudian menundukkan kepalanya. Gilang yang melihat perubahan raut wajah Boby pun sedikit merasa bersalah, apakah ucapannya salah? Kalo begitu coba berikan cara untuk memberi tahu teman yang mulutnya bau azab tanpa menyinggung perasaannya, ayo!

“Bob, sorry! Gue gak bermaksud apa-apa, lagian gue cuman ngomong fakta. Cuman emang yang namanya fakta selalu menyakitkan, lo gak usah begitulah! Gue minta maaf.”  Ucap Gilang Frustasi karena Boby sama sekali tak meliriknya.

“Gapapa, Lang. Kalo emang itu fakta gue ikhlas kok,” balasnya dramatis.

“Yaudah kalo lo maafin gue dan lo sadar akan bau lo, terus kenapa lo masih nunduk njing?” tanya Gilang.

“Gue lagi liat semut.” Jawabnya polos.

Pletak!

Gilang refleks memberikan sentilan pada dahi Boby yang cukup keras, ia cukup kesal kepada Boby. Bisa-bisanya dia masih bisa bercanda dan memancing emosi Gilang di siang hari ini, dengan cuaca yang cukup panas, ditambah lagi dengan Rafael yang sedari tadi tak kunjung kembali untuk membeli minuman dingin.

Boby memicingkan matanya sambil menggoyang-goyangkan lengan Gilang. “Apaan goblok?” tanya Gilang heran.

“Gak usah ngumpat mulu, bajingan! Itu liat, bukannya itu si Aga?” sungut Boby.

“Iya! Kenapa si lo? Kaya baru liat aja.”

Brum!

Arga memarkirkan motornya di garasi yang sudah di sediakan, kemudian ia turun dari motor sambil menenteng keresek yang berisikan minuman yang sedari tadi di tunggunya.

“Kenapa lo yang dateng si?” tanya Boby malas.

Arga melorotkan matanya, ada apa dengan Boby?

“GUE JUGA BAGIAN DARI KALIAN, ANJING! SALAH KALO GUE KE SINI?” sungut Arga.

Sedangkan Gilang hanya menatap heran keduanya, mereka ini kalo tidak sama-sama kompak dalam hal bego dan centil ya begitu, kompaknya dalam pertengkaran dan saling meluapkan emosinya masing-masing. Sebenarnya Boby tak terlalu serius, karena ia sendiri tahu keadaan Arga yang bisa di bilang berbeda dengan mereka. Mereka mengerti rasa emosional Arga, keadaan mental, dan juga rasa kuatnya. Arga seharusnya diberikan penghargaan untuk kategori 'terimakasih telah bertahan untuk hidup.' karena ia sangat kuat, meskipun didalamnya terdapat rasa rapuh.

“ASTAGFIRULLAH, ISTIGHFAR KALIAN!” seru Gilang.

Arga memalingkan wajahnya, “Dia duluan!” ucapnya sambil menunjuk wajah Boby menggunakan jari telunjuknya. “Lagian niat gue baik, Rafa nitip minuman ini buat lo berdua, dia bilang harus buru-buru cabut karena ada urusan keluarga. Tapi si Boby malah ngegas seakan-akan gue itu hal yang patut untuk di usir. Gue emang jarang kumpul sama kalian tapi bukan berarti gue gak boleh pulang ke kalian, karena emang ada hal yang penting yang harus gue pertahankan, tapi semuanya udah bener-bener hancur sekarang, gue gak bisa! Gue gagal.”  Lanjutnya.

Boby dan Gilang sedikit terkejut dengan ucapan Arga, kasihan sekali pria gagah itu harus menderita di usianya yang masih remaja. Sebagai teman, mereka bukannya tak mengerti perasaan satu sama lain, tetapi Arga sendiri yang memilih untuk menjauh dari mereka. Arga bilang ia tak ingin membagi hal sialan itu, cukup kebahagiaan dan tawa saja yang ada di antara persahabatan mereka, mulia sekali hatinya.

“Jadi, mama dan papa lo resmi cerai?” tanya Gilang dengan perasaan tak enak.

Arga mengangguk, kemudian ia mendudukkan bokongnya di kursi kayu yang dihias sedemikian rupa oleh pembuatnya.

She's Alexsya [On Going]Where stories live. Discover now