59. SESEORANG DI MAKAM

991 176 61
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Bukan penjara tempat Vero ditahan yang menjadi tuju Vioner. Melainkan makam Dinda yang telah lama tidak ia kunjungi. Taksi yang ditumpangi Vioner berhenti di depan area pemakaman. Vioner membayar ongkos taksi itu dan keluar dari sana. Vioner membuang napas gusar, gugup yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung reda. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak kemarin menghantui pikirannya, siapa yang menggunakan nomor ponsel mamanya?

Rintik hujan membuat langkah Vioner berhenti. Kepalanya menengadah, langit yang awalnya putih kini diliputi awan hitam cukup tebal. Kendati hujan akan turun lebat sebentar lagi, tak mengurungkan niat Vioner untuk melanjutkan langkahnya.

Boleh nggak Vio berharap mama masih hidup?

Ternyata mama yang pakai nomor itu.

Mama sengaja baru muncul sekarang usai masalah ini selesai.

Ma, jangan beri Vio harapan palsu.

Napas Vioner tercekat, ketika melihat seseorang yang menggunakan jas hujan berjongkok tepat di hadapan makam Dinda. Deru angin terdengar, hujan turun dengan lebatnya. Vioner menatap nanar, persendiannya terasa kelu. Siapa dia?

Vioner menyeret langkahnya menghampiri orang itu. Sekitar satu meter jaraknya, Vioner menghentikan langkahnya. Berdiri tanpa suara menunggu orang itu berbalik badan menghadapnya.

Tampak seseorang itu berdiri, dengan gerakan lambat berbalik menghadap Vioner. Vioner menarik napas besar, lalu membuangnya kasar. Ternyata, orang yang menggunakan nomor ponselnya adalah Handika, papanya.

"Vioner."

Vioner melangkah mundur, kemudian berbalik dengan air mata yang mengucur. Harapannya benar-benar pupus. Ia pikir mamanya masih hidup. Ia pikir mamanya akan mengatakan yang sebenarnya dan memeluknya. Ternyata memang benar-benar harapan palsu.

"Kenapa Papa ngelakuin ini sama Vio ...." Vioner terisak di tengah derai hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Enggan untuk berbalik menatap wajah papanya.

"Vioner, maafin Papa."

Vioner masih menunduk, tak bisa menahan air matanya yang berlomba-lomba ingin keluar. Kata-kata itulah yang ia harapkan keluar dari mulut papanya, akan tetapi seakan-akan kata-kata itu tak lagi berarti baginya.

"Vioner, Papa minta maaf. Papa tau ini sangat terlambat, maafin Papa Vioner."

Vioner berbalik, menatap netra putus asa Handika. Vioner menatap papanya dengan mata yang memerah itu. Isak tangisnya pun dapat Handika dengar walau suara hujan mendominasi sekitar mereka.

"Kenapa, Pa? Kenapa baru sekarang?"

"Papa sekarang sudah tau kebenarannya. Vioner, Papa salah."

"Dari dulu juga Papa akan tahu, jikalau Papa mau dengerin penjelasan Vio. Jikalau Papa percaya sama Vio. Tapi apa? Papa malah usir Vio 'kan?" cetus Vioner menghakimi.

BROTHER [COMPLETED]Where stories live. Discover now