26. NASEHAT DARI JUNA

1.1K 182 36
                                    

Cahaya temaram menyelimuti sebuah kamar di lantai atas kediaman Handika. Terdengar isak tangis yang entah milik siapa. Bi Ami yang membuka pintu kamar bernuansa cokelat muda itu, tahu bahwa Tuannya sedang bersedih. Tangan wanita itu menekan saklar lampu. Tampak Vioner tengah duduk di atas kasur sambil memandangi betisnya yang memar membiru. Bi Ami tak kuasa menahan gejolak di hatinya, beliau meringsut menghampiri Vioner dan duduk di hadapan pemuda itu.

"Den, Bi Ami obati ya kakinya? Nanti tambah sakit kalau nggak diobati," ucap Bi Ami khawatir.

Vioner menggeleng. Berkali-kali menaik cairan bening yang hampir meleleh dari hidungnya. Pemuda itu cemberut, sesegukan beberapa kali.

"Bibi antar ke rumah sakit, ya? Atau panggil dokter aja?"

"Nggak, Bi. Vio mau Papa yang obatin. Papa yang buat kaki Vio luka kayak gini," sahut Vioner serak.

"Aduh, Den. Aden pasti tau Tuan Handika itu orangnya gimana. Egonya tinggi walau dia kasihan sama Den Vio. Apalagi ada istrinya, nggak mungkin bakal ngobatin Aden mah."

"Ya udah gapapa kayak gini."

"Aden ...."

"Bibi tinggalin aja Vio sendiri. Nanti sakitnya hilang."

"Bibi ambilin obat luka dulu," ucap Bi Ami kekuh.

"Vio kunci kamarnya."

Bi Ami menghela napas pasrah. Bingung harus menghadapi sikap keras kepala yang tuannya miliki.

"Terus Aden mau apa? Jangan ngarepin Papa, Sayang. Ada Bibi."

"Papa mana, Bi?"

"Ck, Aden mah malah tanya balik. Tuan Handika lagi makan malam sama Nyonya Bunga. Biasanya bakal pulang larut."

"Kalau gitu Vio mau ke rumah teman bentar," ucap Vioner beranjak dari kasur.

"Eh, mau ke mana? Itu kakinya masih sakit, Den."

"Gapapa, Bi. Sekalian mau diobatin di mana kek. Klinik mungkin," sahut Vioner berjalan pincang menuju lemarinya. Mengambil jaket tebal di dalam sana.

"Bibi anterin, ya? Atau suruh Mang Nudin buat anterin Aden," ucap Bi Ami.

"Boleh kalau Mang Nudin."

"Ya sudah. Bibi bilangin dulu sama Mang Nudin," ucap Bi Ami bergegas keluar kamar Vioner.

Sementara itu, di rumah singgah. Andro membawa teman perempuannya yang bernama Loria. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah sambil menikmati pizza yang dibawa oleh Andro. Bahkan, Juna yang sempat galau pun ikut bergabung. Jion sudah menasehatinya, mereka sepakat untuk tidak menceritakan masalah Juna pada Andro. Mereka tak ingin ayah angkat itu banyak pikiran dan akhirnya menjadi beban saja.

"Makan yang banyak, Sayang. Ih, Mas Andro. Anak-anakmu ganteng semua ih. Gemes tau kalau kumpul kayak gini," ucap Loria.

"Ginilah mereka. Makanan pemersatu bangsa. Hahaha," sahut Andro.

"Loh, cuma ada enam orang. Katanya sekarang ada tujuh. Oh iya, yang mau kuliah itu mana?" tanya Loria lagi.

Andro memudarkan senyumnya. Ia tiba-tiba teringat soal Vioner. Tentang Vioner anaknya Handika. Jujur saja, Andro masih belum mempercayai sesuatu yang amat kebetulan itu.

"Dia udah pulang pada keluarganya," sahut Andro.

"Pulang?"

"Itu mau dia, Lor," sahut Andro.

"Panggil Ria lah, Mas."

"Lor? Ahahaha!" Jirham tertawa keras. Mengundang tatapan menusuk dari Loria.

BROTHER [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora