64. Tak Terelakkan

786 78 7
                                    

Sepertinya tenaga nasi goreng dan dua telur ceplok menghilang seketika dari tubuh Ryan. Sekarang ia merasa layaknya manusia yang sudah seminggu tidak menyentuh makanan. Dan itu tepat ketika ia mendengar penolakan Nathan.

"Saya mau cuti. Jadi saya nggak bisa nguji tanggal 19 nanti."

Sedetik, Ryan terdiam. Seolah ia butuh waktu untuk mencerna kata demi kata yang Nathan ucapkan. Dan seperti mengetahui itu, Nathan mengembuskan napas panjang. Seraya menjatuhkan punggungnya ke punggung kursi, ia kembali berkata.

"Saya ada acara dari hari Sabtu tanggal 17 Juli. Dan baru selesai Senin sorenya. Jadi, saya nggak bisa nguji hari itu."

Pada akhirnya, Ryan bisa juga memberikan respon untuk perkataan Nathan. Walau hanya satu kerjapan mata yang ia lakukan. Lalu ia bertanya lagi, seperti ia butuh untuk diyakinkan.

"Cuti, Pak?"

Melihat pada Ryan, Nathan langsung mengangguk. Menjawab pertanyaan itu tanpa ragu sedikit pun.

"Iya. Saya mau cuti hari itu."

Maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan Ryan kala keluar dari ruangan Nathan saat itu. Nyaris seperti dirinya yang tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Rasa-rasanya, kalau tidak ingat sedang berada di mana ia sekarang, mungkin ia sudah terduduk menjatuhkan diri di lantai. Saking lemasnya jiwa dan raga Ryan ketika menyadari bahwa rencana yang sudah ia susun bersama dengan Vanessa, terancam gagal.

"Ryan."

Satu suara yang menyapa indra pendengarannya, membuat Ryan mengangkat wajahnya. Sedetik ia melihat ke sekeliling, demi menyadari bahwa ia sekarang sudah berada di lorong utama Gedung Jurusan. Dan terpisah dalam jarak yang tidak jauh, ada Zidan yang memanggil dirinya.

Buru-buru Ryan menghampiri Zidan. Meraih tangannya. Bersalaman dan mengucapkan salam dengan sopan.

"Tadi saya ketemu dengan Bu Fatma," kata Zidan datar seperti biasa. Tanpa ada ekspresi yang mencolok di wajahnya. "Katanya kamu mau ujian tanggal 19 nanti?"

Astaga. Mendengar pertanyaan itu, seketika saja Ryan merasakan ada sakit yang mendera jantungnya. Dan sepertinya ini memang normal. Setiap mahasiswa yang mengalaminya, jelas akan merasakannya.

Berusaha untuk tetap tersenyum, Ryan mengangguk. "Iya, Pak. Rencananya saya memang mau ujian tanggal 19. Tadi saya ke ruangan Bapak. Mau menyerahkan draf perbaikan skripsi. Sekalian mau menanyakan jadwal Bapak."

Zidan mengangguk. "Mana drafnya? Sini."

Ryan mengeluarkan draf perbaikan skripsinya dari dalam tas ransel yang ia sandang. Menyerahkannya pada Zidan. Ia berkata.

"Ini, Pak, drafnya. Tapi, sepertinya saya tidak bisa ujian tanggal 19 Juli besok."

Zidan yang semula matanya melihat pada draf di tangannya itu sontak mengangkat pandangannya. Kembali menuju pada Ryan. Dengan sedikit kerutan di dahinya, ia bertanya.

"Kenapa?"

Ryan meringis. "Tadi saya baru ketemu Pak Nathan. Beliau mau cuti tanggal 19 Juli, Pak. Jadi, sepertinya saya nggak bisa ujian hari itu."

Mata Zidan mengerjap sekali. "Oh," angguknya seraya melirih singkat. "Oke. Kalau gitu nggak apa-apa. Siapa tau nanti beliau nggak jadi cuti. Karena hari itu saya juga kosong. Bisa untuk nguji kamu."

Mendengar penuturan Zidan, tentu saja perasaan Ryan semakin miris lagi. Alih-alih ia merasa senang, ia justru merasa nelangsa. Tapi, sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak tampak begitu menyedihkan di hadapan dosen pembimbing pendampingnya itu.

Hanya saja, ketika pada akhirnya Ryan langsung menuju ke parkiran, pikirannya langsung membayangkan satu wajah cantik itu. Mengembuskan napas, ia lantas bertanya-tanya. Entah akan seperti apa respon Vanessa nantinya.

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Onde histórias criam vida. Descubra agora