48. Mantera Penyejuk

665 72 0
                                    

"Jadi, Yan, saran aku udah deh. Hentikan khayalan kamu untuk bisa ngedapetin Bu Vanessa. Ini mustahil banget."

"Kami bukannya mau mengada-ada atau gimana ya. Tapi, itu tadi emang gosipnya heboh banget di Jurusan."

"Bener bener. Bu Vanessa sendiri yang ngomong kalau sekitar Agustus atau September ini beliau mau ngadain resepsi pernikahan."

"Nah, Bid! Ini tugas kamu sebagai temen Ryan. Jaga dia. Jangan sampe dia ntar buat kerusuhan di resepsi nikahan Bu Vanessa."

Satu tangan yang menuding pada dirinya sontak membuat Abid menoleh ke sebelah. Pada Ryan yang duduk di dekatnya. Dengan tampang yang tidak hanya menakutkan bagi Abid, alih-alih menakutkan semua teman-teman mereka yang berada di sekretariat hima kala itu. Iiih!

Wajah Abid tampak kaku. "Udah. Nggak usah khawatir," katanya kemudian. "Ryan ini cuma semacam fan gila dadakan aja."

Cengiran Ryan menghilang. Menganga mendengar perkataan Abid. Terutama ketika cowok itu kembali mengatakan sesuatu yang membuat teman-temannya menyoraki dirinya.

"Aslinya Ryan ini udah punya cewek. Namanya Dinda. Ke-gep di lampu merah sama Lola."

Selesai mengatakan itu, Abid mendelik pada Ryan. Mengabaikan perkataan-perkataan teman mereka, ia tampak tajam melihat temannya itu.

"Jujur aja ke aku, Yan. Waktu itu kamu sengaja kan nyuruh aku pergi sama Elin?"

Mata Ryan mengerjap-ngerjap mendapati perpindahan topik yang mendadak itu. "Lah kan emang iya. Elin kan mau ke rumah Alia."

"Alia Sania Bimoli," delik Abid lagi. "Orang pas kami sampe ke sana ternyata Alia lagi pergi ke acara keluarganya."

O oh.

Ryan tidak mengantisipasi hal tersebut. Hingga ia pun terdiam untuk beberapa saat. Memaksa otaknya untuk mencari dalih yang tepat sasaran.

"Nggak mungkin banget kan orang yang mau pergi gitu lupa batalin janji ngerjain tugas kelompoknya?"

O oh.

"Jadi bener dugaan aku?" tanya Abid dengan mata yang menyipit. Sorotnya penuh dengan selidik. Tidak akan melepaskan sedikit pun ekspresi Ryan yang tampak mencurigakan baginya. "Kamu nyuruh Elin pura-pura mau ke rumah temennya biar aku pergi? Terus kamu bisa pergi jalan sama Dinda?"

Ryan melongo. Dengan mata membesar dan mulut menganga. "Ya Tuhan, Bid. Please. Lebih baik kamu nggak usah mikir deh. Sekalinya otak kamu dipake buat mikir bisa buat Kolor Ijo mau ganti jadi Kolor Merah tau nggak?"

"Nggak tau," tukas Abid. "Dan kamu nggak usah ngalihin pembicaraan dengan segala macam warna kolor itu. Bukan itu yang penting sekarang. Karena kalau aku pikir-pikir ter---"

"Stop mikir, Bid. Beneran. Otak kamu diciptakan Tuhan bukan buat mikir."

Ryan langsung memotong perkataan Abid. Dan ketika temannya itu ingin lanjut berkata, tangan Ryan terangkat dengan matanya yang balas mendelik.

"Kalau kamu nggak percaya," lanjut Ryan lagi. "Kamu tanyain aja sama Mama aku, Papa aku, Eyang aku, bahkan ke Bi Sumi deh. Ada aku pergi nggak pas kamu pergi sama Elin?"

Abid mempertimbangkan itu. Hingga tanpa sadar bibirnya mengerucut dan kepalanya meneleng ke satu sisi. Tapi, sebelum ia sempat mengatakan argumennya lagi, Ryan sudah bangkit dari duduknya.

"Dah! Aku mau balik aja. Ketimbang ngabisin energi ngeladenin omongan kamu."

Langsung menyandang tas ranselnya di satu pundak, Ryan lantas mengetuk satu jarinya di atas meja. Untuk menarik perhatian teman-temannya. Demi berpamitan.

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Onde histórias criam vida. Descubra agora