17. Bentuk Peringatan

845 75 1
                                    

"Kenapa? Kenapa? Kenapa aku milih tomat untuk jadi penelitian aku? Kenapa?"

Di ruang pengamatan laboratorium pagi itu, Abid mengeluh ketika matanya melihat bertumpuk-tumpuk buah tomat yang memenuhi lantai. Nyaris menyerupai bentuk gunung. Hal yang tentu saja membuat cowok itu merasakan tekanan di dalam kepalanya. Seperti ingin pecah saja.

Dari belakang, satu tepukan mendarat di bahu Abid. Lantas meremasnya sekali. Seolah ia bersimpati dengan keadaan yang sedang diderita oleh temannya itu.

"Kapan hari kan udah aku bilangin, Bid. Ambil jagung manis aja. Tapi, kamu nekat mau ngambil tomat. Katanya biar ngukurnya bisa sambil jongkok. Dan sekarang, doa kamu dikabulkan oleh Tuhan. Sampe terjongkok-jongkok deh kamu pengamatan tomat segini banyaknya."

Abid menoleh. Melihat pada Ryan yang tampak manggut-manggut dengan ekspresi wajah yang membuat perutnya bergejolak. Membuat ia geram saja.

"Makanya itu, Bid. Lain kali omongan itu dijaga. Ngomong yang baik-baik aja. Soalnya Tuhan kalau lagi becanda, becandanya nggak main-main. Omongan kita yang jadi kenyataan."

Abid meringis. "Ya ya ya. Omongan jadi kenyataan. Makanya itu kan aku lihat kamu sering ngomongin Bu Vanessa. Biar jadi kenyataan?"

"Wah!" Ryan terkesiap. "Tuh kan. Kamu siapin aja mental kamu buat ngeliat kenyataan di antara aku dan dia ntar."

Abid tercengang. Lalu ia merinding. Menarik diri dan membiarkan tangan Ryan yang masih berada di bahunya, jatuh. Alih-alih tetap meladeni Ryan, ia memutuskan untuk memulai pengukuran sementara menunggu teman-temannya yang akan datang membantu.

Tidak butuh waktu lama, beberapa orang teman Ryan dan Abid yang lainnya datang. Turut membantu Abid melakukan pengukuran terhadap hasil panen keduanya. Hingga ketika menjelang siang, Abid menyenggol Ryan.

"Enaknya siang ini makan apa, Yan? Anak-anak pada mau makan apa?"

Menaruh jangka sorong di atas meja pengamatan, Ryan acuh tak acuh mengangkat sekilas pundaknya.

"Tau deh. Mending tanyaian aja."

Maka setelah mengatakan itu, Ryan bangkit. Bertanya dengan nada berseru pada teman-temannya yang tersebar di berbagai tempat di ruang pengamatan itu.

"Oi, siang ini kalian mau makan apa? Makan hati atau makan asam garam dunia?" Ryan menyeringai. "Biar aku yang beliin .... Tapi, pake duit Abid. Hahahaha."

Tidak hanya membuat kekehan tersembur lantaran makan hati atau makan asam garam dunia, nyatanya ketika Ryan menyelesaikan kalimatnya, tawa semakin menyembur. Diiringi oleh gerutuan lucu.

"Kirain kamu yang beliin. Hahahaha."

Ryan tergelak. "Oh, aku nggak sebaik itu. Kasihan malaikat kalau aku langsung meluncur masuk surga. Hahahaha."

Mereka berunding, lalu memutuskan untuk makan makanan yang cepat saji saja mengingat kala itu hari sudah beranjak siang. Rumah makan akan ramai sebentar lagi. Hingga tentu saja pilihan mereka bermuara pada menu ala anak muda. Yang terkenal dengan renyahnya ayam berbalut tepung, pedasnya sambal, dan segarnya lalapan.

"Oke, fix. Semuanya ayam geprek level sepuluh!"

Bangkit dari duduknya, Ryan yang sudah bersiap akan pergi justru ditahan Abid. Cowok itu bertanya.

"Bisa nggak? Atau mau aku bantu? Lumayan loh bawanya."

Namun, Ryan menggeleng. "Nggak usah. Kamu di sini aja. Lanjutin pengamatan biar cepat selesai."

Ryan pun segera bergegas. Memastikan kunci motornya ada di dalam saku celana seraya mengeluarkan ponselnya. Berencana untuk langsung keluar dari ruangan itu, namun Ozy berseru.

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang