27. Terang-Terangan

897 82 1
                                    

Abid memang tau bahwa Ryan akan selalu termotivasi bila itu berkaitan dengan Vanessa. Tapi, ini keterlaluan. Bahkan untuk makan siang saja, mereka hanya sempat duduk lima menit di kursi warung makan itu. Bisa ditebak bukan? Ryan ingin segera buru-buru kembali ke kampus.

"Perasaan aku nggak enak, Bid. Ngapain coba Pak Nathan ke ruangan Bu Vanessa? Apa jadinya kalau cewek dan cowok berada di satu ruangan yang sama? Oh, nggak boleh. Nggak boleh."

Abid ingin mengumpat. Sungguh ingin benar-benar membuktikan keampuhan kursi ketimbang ayat kursi. Tapi, sesuatu tampak berbeda di ekspresi wajah Ryan. Membuat cowok itu lantas menghirup udara dalam-dalam dan kemudian mengembuskan napasnya sepanjang mungkin. Entah mengapa, secercah rasa simpatik muncul di benak Abid.

"Segitunya ya kamu suka sama Bu Vanessa, Yan?" tanya Abid lirih. "Sampe nggak tau mana yang bisa jadi kenyataan dan mana yang hanya sebatas khayalan?"

Ryan, yang benar-benar sedang tidak tenang, memejamkan mata dengan dramatis. Berusaha untuk menyabarkan diri. Lalu ketika matanya membuka, ia berkata dengan penuh penekanan.

"Kalau gitu, aku duluan, Bid."

Ryan tidak mengatakan apa-apa lagi. Langsung menyambar tas ranselnya dan keluar dari sana. Bergegas menyalakan motornya. Hingga tak mengira sama sekali bila ternyata Abid menyusul dirinya.

Lirikan mata Ryan terlihat berbeda di mata Abid. Terutama dengan nada suaranya.

"Nggak jadi lanjut makan?"

Abid hanya menggeleng sekali. Lalu segera merogoh saku celananya, mengeluarkan kontak motornya ketika Ryan justru telah melaju meninggalkan dirinya. Ia bengong.

"Wah! Dia bisa ngebuat Rossi bangga!"

Tak membuang waktu, Abid pun kemudian turut melajukan motornya. Mencoba mengejar Ryan, namun tentu saja gagal.

Ketika motor Abid berhenti di area parkir belakang Gedung Jurusan, cowok itu bisa melihat bagaimana Ryan yang sudah berada di lantai dua. Sungguh! Kata takjub tidak akan cukup untuk mewakili perasaan Abid kala itu. Dan ia pun menyusul.

Abid menarik napas lega karena datang tepat pada waktunya –menurut pandangannya sih. Karena pada saat itu, Ryan baru saja mengangkat tangannya demi memberikan ketukan di pintu. Dan mengucapkan permisinya.

"Siang, Bu. Siang, Pak."

Abid langsung menyusul Ryan. Tepat ketika terdengar suara Vanessa bertanya dengan nada tak percaya.

"Loh? Ryan? Abid? Kalian sudah selesai makannya?"

Ryan mengangguk. "Iya, Bu. Kebetulan warungnya lagi rame, jadi nggak enak kalau makannya kelamaan. Kasian yang lain juga mau makan."

Jawaban Ryan membuat Vanessa bingung. Namun, sedetik kemudian Abid kembali turut berkata.

"Sekalian, Bu, biar lebih cepat bantu Ibu. He he he he."

Diam-diam, Abid meremas tangannya satu sama lain. Di dalam hati ia merutuk habis-habisan.

Sial dah.

Ini Ryan yang gila, tapi kenapa malah aku yang ikut-ikutan nggak waras?

Maka setelah mendengar perkataan Abid, Vanessa pun lantas mengangguk kaku. Kentara sekali bahwa kebingungan masih menyelimutinya. Terutama karena kemudian seorang cowok berkacamata yang duduk di sofa, yang juga disapa oleh Ryan ketika mengetuk pintu ruangan Vanessa, bertanya.

"Oh, Ibu ada janji sama Ryan?"

Vanessa mengerjapkan matanya. Menoleh pada rekan kerjanya. "Oh, i-i-iya, Pak. Saya minta tolong sama Ryan dan Abid buat ngebantu saya meriksa proposal PKM."

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora