6. Spontanitas Tindakan

1.2K 83 5
                                    

Hening. Bahkan saking heningnya, Abid yakin kalau ada setan lewat, derap langkahnya akan terdengar! Dan itu cukup membuktikan, bahwa perkataan Ryan tadi bukan hanya membuat syok Vanessa. Alih-alih satu ruangan syok berjamaah!

Berusaha menebalkan wajahnya, Abid kemudian menyisihkan wortel di tangannya. Buru-buru menarik tangan Ryan seraya berkata pada Vanessa.

"Ma-ma-maksudnya saya dan Ryan. Iya. Saya dan Ryan akan ngobrol abis praktikum nanti."

Namun, ketika Abid berusaha untuk menjernihkan situasi saat itu, eh ... Ryan justru melakukan hal sebaliknya. Cowok itu justru tampak berusaha melepaskan diri dari Abid seraya menggerutu.

"Jangan ngomong kalau kelas Bahasa kamu juga gagal, Bid. Ya ampun. Ada perbedaan antara kita dan kami. Kalau aku dan kamu, itu ya aku pake kami. Tapi, kan tadi aku ngomong kita. Itu artinya ..." Ryan kembali berpaling pada Vanessa. "... saya dan Ibu dong."

Ya Tuhan.

*

Vanessa tidak tau bagaimana caranya, tapi setidaknya ketika kelas praktikum Botani siang itu berakhir, ia bisa mengembuskan napas lega. Akhirnya ia bisa keluar juga dari situasi canggung tadi. Argh! Vanessa bertekad akan menceramahi Ryan pulang nanti.

Keluar dari ruang praktikum, Vanessa langsung menuju ke ruangannya. Di mana ia telah melihat ada beberapa orang mahasiswa yang tampak duduk di depan ruangannya. Pada kursi yang tersedia di koridor.

Ada seorang mahasiswa dan dua orang mahasiswa, yang langsung bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangan Vanessa. Layaknya cewek itu adalah malaikat penyelamat mereka.

"Siang, Bu."

Vanessa yang diikuti oleh Farrel di belakangnya, tersenyum. Mengeluarkan kunci ruangan dari saku celananya, ia membalas sapaan itu.

"Siang juga. Ada perlu sama saya?"

Mereka kompak tersenyum malu-malu.

"Iya, Bu."

Sementara Vanessa tampak masuk ke ruangannya bersama dengan Farrel yang membawa setumpuk laporan kegiatan praktikum tadi, di seberang sana Ryan tampak geleng-geleng kepala.

"Ckckck. Memang tugas mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah pekerjaan yang menuntut dedikasi tingkat tinggi. Gimana bisa? Bu Vanessa baru selesai praktikum, eh ... udah didatangi mahasiswa buat bimbingan lagi. Ehm ... apa mereka nggak kepikiran buat ngasih Bu Vanessa waktu untuk istirahat bentar gitu? Bu Vanessa belum makan siang loh. Ntar kalau sakit magh gimana? Kan kasian."

Mengembuskan napas panjang, Abid buru-buru meraih tangan Ryan. Tanpa peringatan atau memedulikan keberatan cowok itu, Abid terus saja Ryan. Membawanya beranjak dari sana. Menuju ke mana saja. Pokoknya yang penting di mana Ryan tidak bisa melihat Vanessa lagi.

"Please, Yan. Hayo, kita ke poli jiwa dulu. Aku beneran khawatir dengan kesehatan mental kamu."

Pada akhirnya, Ryan berhasil juga melepaskan tangannya dari Abid. Dengan cemberut, mencibir, dan misuh-misuh, Ryan balas berkata.

"Kayak yang aku udah gila aja sampe mau dibawa ke poli jiwa."

Abid berusaha untuk tetap tabah. Bagaimanapun juga, ia tetap ingat sesuatu yang penting. Bahwa Ryan itu adalah temannya. Hiks.

"Aku bisa jamin kok kalau poli jiwa bukan cuma untuk orang gila," kata Abid dengan penuh keyakinan. "Paling nggak bisa jadi tempat buat curhat gitu. Jadi, seenggaknya kamu bisa mengeluarkan unek-unek kamu, rasa kagum kamu, dan apa pun itu yang berkaitan dengan Bu Vanessa pada orang yang tepat. Ahlinya. Gitu loh."

Ryan mendelik. "Kalaupun aku mau curhat, tentang unek-unek aku, rasa kagum aku, atau apa pun itu, ya pasti bukan poli jiwa tempatnya."

Ya ampun. Tidak terkira lagi bagaimana horornya wajah Abid ketika mendengar perkataan Ryan. Karena ia yakin, muara dari itu semua pasti hanya satu. Yaitu ....

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Where stories live. Discover now