18. Rasa Percaya

853 74 2
                                    

Samar sih, tapi Vanessa yakin seperti mendengar suara Ryan yang berbicara dengan seseorang. Hingga membuat ia yang semula ingin lanjut kembali bekerja seraya menikmati camilan yang sudah dibawakan oleh cowok itu, mengurungkan niatnya. Alih-alih, ia bangkit berdiri. Membuka pintu dan mendapati bahwa ternyata ada Nathan yang berbicara dengan Ryan. Tepat sebelum Ryan yang kemudian tampak berpamitan, lantas berlalu dari sana.

Tertegun sejenak melihat kepergian Ryan, Vanessa nyaris melupakan Nathan. Hingga ia tak bisa melarikan diri ketika rekan kerjanya itu melayangkan tatapan matanya pada dirinya. Tentu saja, Vanessa tidak mungkin berpura-pura tidak melihat dan langsung menutup pintu ruangannya. Terutama karena Nathan sekarang berjalan ke arahnya.

Vanessa tersenyum. "Selamat siang, Pak."

"Selamat siang, Bu," balas Nathan. "Nggak ngajar?"

"Nggak. Kebetulan lagi jam kosong sekarang. Ehm ...." Vanessa mendehem sejenak. "Tadi sebenarnya saya lagi ngoreksi proposal. Tapi, karena ada suara-suara, saya jadi penasaran. Ternyata Bapak lagi ngobrol sama Ryan."

Kepala Nathan mengangguk. "Oh, iya. Tadi saya dan Ryan emang ngobrol sebentar."

"Ehm ... ngobrolin apa ya, Pak?"

Tersenyum, Nathan menjawab. "Soal kapan dia mau seminar hasil."

"Aaah ...."

Vanessa manggut-manggut. Jelas ia mengetahui bahwa Nathan adalah dosen penguji skripsi Ryan. Maka adalah hal yang wajar bila rekan kerjanya itu menanyakan hal tersebut padanya.

"Ehm ... kalau gitu, saya permisi dulu, Bu. Ada praktikum jam dua belas siang ini."

Vanessa mengerjap. Mengangguk dan tersenyum. "Iya, Pak. Silakan."

*

Malam itu, Vanessa yang baru saja selesai dari kamar mandi melihat Ryan yang tampak serius di meja belajarnya. Dengan satu laptop yang menyala, satu buku besar yang membuka, dan berpuluh-puluh jurnal ilmiah yang menumpuk. Cowok itu tampak serius ketika menggerakkan pena di tangannya, dengan sesekali diselingi oleh pergerakan ujung jarinya di touchpad.

"Serius banget kamu, Yan. Lagi ada revisian ya?"

Vanessa bertanya seraya menghampiri Ryan. Memilih untuk duduk pula di kursinya. Bertopang pada satu siku di atas meja, ia melihat wajah cowok itu dari samping.

Ryan menggeleng. "Sebenarnya nggak ada revisian sih. Malah kalau boleh jujur, kalau aku nggak ngulang kelas, aku pasti udah seminar sekarang."

Senyum kecil timbul di wajah Vanessa. Tapi, ia memutuskan untuk tidak menggoda Ryan. Lantaran ia seperti melihat ada sorot yang beda di sepasang mata cowok itu. Yang mengaakan bahwa ada satu hal yang sedang mengganjal pikirannya.

"Tapi, ya ... aku cuma mau belajar aja. Biar ntar pas ujian, aku bisa jawab dengan lancar semuanya."

"Ehm ...," dehem Vanessa dengan penuh irama. "Kamu ini emang cowok rajin ya? Pantas aja nilai kamu tinggi."

"Ck. Nilai tinggi itu pasti karena ada usahanya. Kalau nggak belajar, ya ... artinya nyontek."

"Hehehehe. Kamu bisa aja."

"Ya mau gimana lagi. Orang yang paling jenius aja juga belajar kok. Mana ada ceritanya itu Einstein nggak belajar."

Ryan mengembuskan napas panjang. Memutar-mutar pena di tangannya. Sekarang, tatapannya di buku berubah menjadi tak fokus. Tepat ketika ia melirih.

"Apalagi aku, harus belajar beneran biar orang-orang tau kalau nilai aku bagus emang karena usaha aku."

Vanessa mengerutkan dahi. "Eh? Maksud kamu?" tanyanya bingung. Perkataan Ryan membuat otaknya berputar, mengira-ngira sesuatu yang tak pasti. "Ada yang ngomong kalau nilai kau nggak pantas gitu?"

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang