57. Antara Halusinasi Atau Tragedi

865 84 0
                                    

Turun dari motornya, Ryan dengan terburu-buru melepas helm dari kepalanya. Menaruh benda itu di atas tangki motornya dan segera turun. Lantas langsung beranjak dari area parkir. Dalam langkah setengah berlari, cowok itu berusaha membelah lautan mahasiswa yang selalu saja mewarnai masa-masa peralihan kelas. Seperti kala itu. Ketika jam sudah bergulir dan ada kelas Genetika yang harus ia hadiri di jam sepuluh itu.

Hanya saja, bukan itu satu-satunya alasan yang membuat Ryan mempercepat langkah kakinya. Melainkan karena ia ingin menemui seseorang. Yang belakangan ini tidak mampu ia temui. Lantaran orang itu yang mengurung diri berhari-hari di kamar kosnya. Yang tentu saja, orang itu adalah Abid.

Astaga.

Sumpah bertubi-tubi deh. Ryan khawatir kalau Abid nekat mengakhiri hidupnya lantaran mengira bahwa dirinya sudah benar-benar gila. Berkat dirinya yang melihat satu kenyataan yang tidak pernah ia antisipasi sebelumnya.

Masuk ke ruang kuliah yang masih sepi itu, Ryan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu ia menemukannya. Abid duduk di satu kursi dengan pandangan kosong. Bertepatan dengan seorang junior setahun di bawah mereka yang datang menghampiri Ryan. Berkata.

"Kak Abid kenapa, Kak? Sakit? Dari tadi dia diem aja. Kayak orang linglung."

Meringis, dengan berat hati Ryan membenarkan perkataan juniornya itu. Karena di tempatnya berdiri saja Ryan sudah bisa melihat keadaan Abid yang mengenaskan. Hiks. Cowok itu duduk dengan pandangan lurus ke depan. Namun, sorot di matanya tampak kosong. Dan wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.

Berusaha untuk menimbulkan kecurigaan, Ryan lantas berkata.

"Nggak. Dia nggak sakit. Orang emang dia nggak pernah sehat kok."

Junior itu melongo. Dan Ryan buru-buru beranjak dari sana. Langsung menghampiri Abid. Duduk tepat di sebelahnya.

"Bid ...."

Pelan dan lirih, Ryan khawatir Abid akan mendadak meloncat layaknya harimau yang tengah terusik. Dan mungkin karena itu pula mengapa Ryan terkesan menjaga jarak. Jaga-jaga kalau Abid mendadak memang gila sungguhan dan langsung menyerang dirinya. Hihihihi.

Perlahan, Abid menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Mata cowok itu berkedip sekali. Lalu pelan-pelan kepalanya bergerak. Berpaling. Melihat pada Ryan.

"Yan ...."

Ryan menarik napas dalam-dalam. "Ya?"

Hening sejenak, Abid menatap Ryan dalam sorot yang membuat jantung cowok itu berdebar-debar. Nyaris membuat Ryan tak mampu menunggu lagi. Khawatir dan tegang.

"Penyakit jiwa ...," lirih Abid kemudian. "Masih ditanggung BPJS kan?"

Dooong!

Tentu saja adalah hal yang sangat manusiawi bila respon spontan yang diberikan oleh Ryan adalah tertawa terbahak-bahak. Sejenak membuat ia lupa betapa ia mengkhawatirkan temannya itu. Pun seolah tak peduli sedang berada di mana dirinya sekarang.

"Hahahaha." Ryan memegang perutnya. "Aman aja, Bid. Masih ditanggung BPJS kok. Hahahaha."

Abid tidak bereaksi sama sekali untuk tawa Ryan yang makin meledak. Yang ia lakukan hanyalah menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya dengan teramat perlahan. Seolah ingin benar-benar meresapi sensasi udara yang keluar dan masuk di organ pernapasannya itu.

"Untunglah," ucap Abid penuh syukur. "Besok kayaknya aku mau periksa beneran ke poli jiwa."

"Hahahaha."

Mata Abid berkedip sekali. Dengan kedua tangan yang naik ke udara dan lantas mendarat dengan dramatis di atas kepala, wajahnya meringis. Teramat frustrasi ketika lanjut bicara.

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang