58. Kenyataan Dan Bayangan Masa Depan

872 71 1
                                    

"Abid nggak bakal ngasih tau ke orang-orang kan, Yan?"

Untuk yang kesekian kalinya, Ryan mendapatkan pertanyaan yang serupa dari Vanessa. Yang di hari itu, entah sudah sebanyak apa Vanessa menanyakannya. Dan walaupun jawaban Ryan selalu sama, pada akhirnya selang beberapa saat kemudian, dijamin. Pasti Vanessa akan kembali bertanya.

Ryan mengembuskan napas panjangnya. Menaruh pena di tangannya sejenak ke atas meja. Berpaling ke samping. Pada Vanessa yang juga menjeda pekerjaannya kala itu.

Sekilas menatap Vanessa lamat-lamat, Ryan mendapati di balik lensa anti radiasi yang bertengger di depan kedua matanya, ada berkas kehitaman di sana. Pun kantung mata juga menghiasinya. Lebih dari cukup menjadi tanda bahwa akhir-akhir ini pekerjaan Vanessa semakin bertumpuk.

Melepaskan pena dari tangannya, Ryan lantas beralih beralih jemari Vanessa. Menggenggamnya dengan lembut dan mengangguk. Untuk yang kesekian kalinya pula menjawab pertanyaan Vanessa dengan kata-kata yang ia usahakan bisa menenangkan gelisah cewek itu.

"Tenang aja, Sa. Abid nggak bakal ngomong itu ke orang-orang kok."

Namun, Vanessa tetap gelisah. Hal itu tercetak nyata di wajahnya. "Yang bener?" tanyanya lagi. "Aku takut banget, Yan. Bukan dengan cara kayak gini aku maunya orang-orang tau soal kita. Masa dalam keadaan memalukan kayak gitu sih?"

Ryan terkekeh. Terlepas dari status mereka sebagai dosen dan mahasiswa, rasa-rasanya memang sedikit memalukan ketika tertangkap basah di saat akan berciuman. Yang Vanessa alami sekarang tentulah tidak berlebihan. Malah bisa dikatakan normal.

"Tenang, Sa, tenang," ujar Ryan kembali. "Sampe kiamat Abid nggak bakal ngomong soal itu ke orang lain. Dia pasti pahamlah konsekuensi yang bisa kita dapat kalau berita itu kesebar." Ia tersenyum. "Kamu nggak perlu khawatir. Karena walaupun Abid itu otaknya rada-rada, tapi dia bukan tipe mulut ember."

Panjang napas lega yang Vanessa embuskan ketika mendengar perkataan Ryan. Setidaknya ia bisa meredakan kegelisahan yang menggelayuti perasaannya dari tadi. Walau tentu saja, Vanessa yakin bahwa besok sepertinya ia akan kembali ketakutan dan Ryan harus meyakinkannya lagi. Begitulah. Mungkin ini adalah risiko karena menyimpan rahasia sedemikian rupa besarnya. Hihihihi.

Sementara Ryan yang mendapati ekspresi Vanessa perlahan berubah, mengangkat pelan jemari cewek itu. Membawanya ke depan bibirnya. Memberikan satu kecupan lembut di buku-bukunya.

"Aku takut banget, Yan."

"Udah. Nggak perlu takut. Nggak usah dipikirin. Ketimbang kamu mikirin Abid, mending kamu mikirin aku."

Vanessa manyun. "Sekarang ini yang ada di pikiran aku cuma takut berita kita kesebar, terus sama kerjaan di kampus yang nggak beres-beres," desahnya. "Aku cuma berharap, semuanya bakal aman terkendali sampe pernikahan kita, Yan."

"Kamu tenang aja. Mudah-mudahan semuanya bakal aman terkendali. Kamu nggak perlu khawatir. Dan ... untuk pernikahan kita ... juga."

Berbicara mengenai pesta pernikahan Ryan dan Vanessa, kedua keluarga tentu saja sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan sebenarnya sudah diurus sejak mereka ijab kabul dulu. Semua hal yang berkaitan dengan resepsi sudah disusun dengan begitu matang.

"Oh iya," lirih Ryan kemudian. "Aku jadi ingat kata Eyang kapan hari."

Bayangan Abid dan kemungkinan berita pernikahan mereka yang tersebar sebelum waktunya, buyar seketika dari benak Vanessa. Tergantikan oleh segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan mereka. Ekspresi wajah cewek itu berubah cerah.

"Apa?"

"Kan emang rencananya kita mau resepsi aja lagi, tapi Eyang nyuruh mikir dulu. Mau ijab ulang atau nggak," jawab Ryan. "Soalnya kemaren itu juga kan yang hadir cuma keluarga yang deket banget sih." Mata Ryan mengerjap sekali, baru melanjutkan perkataannya dalam satu bentuk tanya. "Menurut kamu gimana?"

[Masih] Kuliah Tapi Menikah ЁЯФЮ "FIN"рдЬрд╣рд╛рдБ рдХрд╣рд╛рдирд┐рдпрд╛рдБ рд░рд╣рддреА рд╣реИрдВред рдЕрднреА рдЦреЛрдЬреЗрдВ