44. Ujian Kesabaran

691 76 0
                                    

"Ma! Pa! Eyang! Ada Mbak Vanessa!"

Suara Elin menggelegar ketika mendapati ada Vanessa yang masuk di saat dirinya sedang berleha-leha di depan televisi. Cewek yang sekarang berada di kelas 11 itu merupakan adik Ryan. Yang terkenal manja dan sangat dekat dengan sang kakak. Hingga tidak aneh sama sekali bila di awal pernikahan Vanessa dan Ryan dulu, cewek itu sempat menaruh rasa tak suka dengan Vanessa. Namun, semua berubah dalam sekejap mata. Hanya karena Vanessa yang membantu dirinya membuat tugas kerajinan sekolah dan mengajarinya masak. Kala itu Elin mengatakan bahwa ternyata lebih enak kalau memiliki saudara perempuan ketimbang saudara laki-laki. Hihihihihi.

Elin bangkit dari duduknya. Langsung beranjak menuju Vanessa. Bersalaman dengan sang ipar dengan matanya yang melirik pada bingkisan di tangan Vanessa yang lainnya.

"Apaan tuh, Mbak?"

Vanessa tersenyum. "Ah, ini. Tadi Mbak masak puding mangga. Rencananya sih buat Mas kamu. Tapi, dia nginep di depot. Jadi ya mending Mbak bawa ke sini aja."

"Asik!"

Dengan semringah, Elin segera mengambil bingkisan itu. Mengangkatnya ke depan hidungnya, lalu mengendus aromanya dengan mata yang merem melek. Hanya untuk mendesah dengan ekspresi tak sabaran.

"Makasih banget buat Kak Abid. Akhirnya jatah Mas Ryan bisa aku yang makan. Hahahaha."

Elin sudah akan beranjak, tapi langkahnya terhenti ketika Vanessa terdengar bertanya.

"Eh? Kok tau gara-gara Abid?"

"Hahahaha. Ya tau dong, Mbak," jawab Elin seraya tergelak kecil. "Emangnya siapa lagi yang bisa buat Mas Ryan nginep di depot kalau bukan Kak Abid? Mana biarin Mbak datang ke sini sendirian lagi."

Vanessa hanya bisa melirih samar. Dalam hati tentu sepakat dengan pemikiran logis Elin. Hal yang dalam hitungan detik segera buyar tatkala mendengar namanya dipanggil. Oleh suara yang berbeda-beda.

"Mantu!"

"Ada Vanessa ternyata."

Elin beranjak. Menuju ke dapur demi menaruh sejenak puding mangga di tangannya ke dalam kulkas. Membiarkan sang kakak ipar yang kemudian langsung menghampiri mertua dan kakek mertuanya. Bersalaman.

"Ah! Gitu ternyata. Pantesan aja datang ke sini nggak bilang-bilang."

Lastri manggut-manggut mendengar penuturan singkat dari menantunya itu. Yang menjelaskan mengapa menjelang sore itu ia datang berkunjung ke rumah mereka tanpa kabar terlebih dahulu. Terlebih lagi karena Vanessa datang seorang diri. Tanpa ditemani oleh anak mereka, Ryan.

"Jadi, gimana? Kemaren seminar hasil Ryan gimana?"

Adalah ayah mertua Vanessa yang kemudian bertanya. Membuat fokus mata cewek itu berpindah. Dari Lastri kemudian menuju pada Handoko. Begitu pula dengan sang kakek, Gusnandar, yang turut pula bertanya.

"Ah, benar-benar. Eyang penasaran, apa Ryan bisa tamat sebentar lagi? Eyang nggak sabar mau ngenalin cucu mantu Eyang sama orang-orang."

Yakinlah, semula Vanessa sudah akan menjawab pertanyaan Handoko. Bahkan lidahnya sudah siap bergetar untuk bicara. Namun, ketika Gusnandar turut bersuara, maka seketika saja otak Vanessa yang seperti mendadak berhenti bekerja. Hingga ia perlu mengerjapkan matanya beberapa kali, menyadarkan dirinya sendiri sementara ada tawa yang pecah di telinganya kemudian.

Gusnandar terbahak. "Benar kan?"

"Benar, Pa, benar," jawab Lastri tersenyum. "Sekalian biar cepat resepsi kan?"

"Nah, itu maksud Eyang," angguk Gusnandar. "Kebahagiaan itu kan harus dibagi-bagi toh? Bener kan?"

Lastri dan Handoko kembali tertawa. Jelas mengerti dengan pasti maksud sebenarnya dari perkataan Gusnandar. Karena di usia senjanya sekarang, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi pria tua itu selain melihat cucu tertuanya sudah benar-benar bersanding. Terutama dengan cewek yang bisa dibilang merupakan pilihannya.

[Masih] Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang