43

219 44 5
                                    

"Isadora! Sedang apa kau di sana?"

Langkah besar itu menghampiri Jay dan wanita di hadapannya. Wajah murka sekaligus suram sangat terpampang di wajah pria tua itu. Raja Benjamin, seorang ayah yang baru saja kehilangan putrinya.

Pria itu menarik kasar lengan Isadora. "Bagaimana dia bisa ada di sini? Kenapa kau menemuinya?" tanyanya dengan suara yang lantang hingga menggema ke sudut lorong.

Isadora mendadak gagap. Matanya memandang sang suami dan pemuda di hadapannya bergantian, khawatir akan terjadi keributan di lorong rumah sakit itu.

"A-aku hanya ... tolong jangan lukai dia," pinta Isadora memelas. Ia merendahkan pandangannya, bersungguh-sungguh atas permintaannya. "Dia tidak pernah melukai anak kita Isabella. Dialah yang membahagiakan Isabella selama ini, Suamiku."

Napas Raja Benjamin tersengal. Pria itu tidak cukup percaya dengan perkataan Isadora. Matanya menatap sengit pemuda berambut pirang yang terlihat lesu. Dilihat dari sisi manapun pemuda itu bukanlah orang yang baik.

Jadi telunjuknya mengudara, menunjuk wajah pemuda itu. "Kau pasti yang menyebabkan semua ini. Kau membunuh anakku Isabella!" pekiknya penuh amarah hingga wajah memerah.

Jay mengepalkan tangannya, berusaha untuk tidak bertingkah di luar kendali. Ia menerima semua caci maki yang diberikan pemimpin kerajaan itu, menunggu waktunya untuk membuka suara.

Pria itu melangkah mendekati Jay. Menunjukkan kebesarannya di hadapan pemuda itu. "Saya pastikan kau membusuk di penjara," desis Raja Benjamin sebelum mendorong tubuh Jay hingga pemuda itu kehilangan keseimbangannya.

"Akulah yang berhak diberikan hukuman!"

Suara serak lelaki remaja itu mencuri perhatian Raja Benjamin. Ia menoleh dan mendapati anak bungsunya berdiri tegak di ujung lorong. Ia menautkan alisnya, tidak mengerti apa maksud William.

Mata Jay membelalak. Ia tidak menyangka William memiliki keberanian yang sangat tinggi. Tidak peduli dengan Raja Benjamin dan Ratu Isadora, ia berlari menghampiri William dan menahan lelaki itu untuk tidak berbicara apa pun.

"Sebaiknya kau tutup mulutmu," bisik Jay, kedua tangannya mencengkeram pundak William. "Kematian Isabella bukan salahmu, kau tidak bersalah."

William menggeleng kencang. Ia tidak setuju dengan ucapan Jay. "Tidak. Aku yang jelas-jelas membunuhnya. Aku harus dipenjara, aku harus dihukum," ujarnya lirih. Lelaki itu masih ingat betul bagaimana panah yang ia lontarkan menancap di tubuh sang kakak.

Tidak betah melihat Jay dekat dengan anaknya, Raja Benjamin menyingkirkan Jay kasar. Kini ia berdiri di hadapan putranya. "Apa yang kau maksud, William?" tanyanya.

Tubuh William gemetar. Rasa bersalah, cemas, menyesal berkecamuk di pikirannya. Bayangan Isabella yang sekarat selalu terputar di kepalanya. Air mata yang susah payah ia tahan kembali menetes.

"Aku minta maaf," ucap William lirih.

Perlahan Isadora menghampiri William yang mengelus pelan pundaknya. "Tenangkan dirimu, kita bicarakan ini nanti." Ia tidak ingin keributan ini menjadi bahan omongan para pekerja di rumah sakit.

Isadora menoleh ke arah Jay. "Sebaiknya kau ikut ke istana. Banyak hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu." Bukannya ingin menyudutkan Jay, ia hanya ingin mengetahui alasan kematian putrinya yang sangat tiba-tiba.

Noh ANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ