11

231 52 3
                                    

"Ayo lah ... apa kau tidak kasihan melihat seorang perempuan yang tidak bisa memasak ini?" ujar Isabella memelas.

"Iya, aku tidak kasihan."

Isabella membuang napasnya kasar. Ia merasa sangat frustrasi karena Jay tak kunjung luluh dengan bujukannya. Apakah dirinya terlihat sangat tidak meyakinkan untuk bekerja di dapur sampai lelaki itu menolak keras?

"Kalau begitu aku ganti permintaanku." Kali ini Isabella yakin permintaannya akan diterima dan Jay akan menurutinya. "Aku ingin kita memasak bersama. Bukan sebagai pengajar dan yang diajarkan. Hanya memasak bersama saja," pintanya.

Jay yang sedari awal tidak berminat untuk menatap wajah Isabella pun akhirnya menoleh dan menatapnya. "Itu lebih parah dari yang sebelumnya. Aku akan tetap menolak," ucapnya tegas.

"Jay ayo lah, apa aku harus bersujud di hadapanmu dulu?" tanya Isabella.

"Memangnya apa yang membuatmu sangat ingin memasak denganku? Memasak hanya membuatmu lelah," timpal Jay.

"Tidak apa-apa, aku ingin memasak sekali saja. Kalau gagal aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."

"Ya sudah, sebelum malam tiba. Kau ingin memasak apa?" Jay beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur.

Mendengar Jay yang akhirnya menuruti permintaannya membuat Isabella memekik senang. Saking bahagianya ia bahkan melupakan keanggunannya sebagai seorang putri dan melompat kegirangan sambil berjalan mengikuti Jay.

"Pakai ini," perintah Jay lalu memberikan celemek untuk Isabella. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana berantakan ya dapur itu nanti.

Isabella pun menerimanya dan memakainya. Setelah itu ia mengikat rambut panjangnya agar tidak mengganggu selama memasak. "Aku mau membuat kukis, kau bisa?" pintanya.

Jay mengangguk pelan. Walaupun sedikit ragu tapi ia rasa dirinya cukup mahir untuk membuat kukis. Lelaki itu pun menyiapkan bahan-bahannya dan diletakkan di meja dapur.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Isabella sambil memandangi meja dapur.

"Tuangkan tepung itu ke mangkuk," perintah Jay.

Perempuan itu pun mengambil sekantung tepungnya. "Semuanya?" Setelah melihat Jay mengangguk, ia pun menuangkan semua tepung itu ke mangkuk besar. Wajahnya menjadi sedikit kotor karena terkena tepung, tapi tidak masalah.

"Lalu apa lagi?"

"Taruh telurnya tiga butir."

Dengan polosnya Isabella menaruh telur yang belum dipecahkan ke dalam mangkuk itu di atas tepung. Jay hanya bisa memandangi mangkuk itu heran sekaligus kagum. Ternyata jalan pikiran setiap manusia berbeda, atau lebih tepatnya, jalan pikiran Isabella berbeda dengan manusia lain.

"Bukan seperti itu, bodoh." Jay mengambil telurnya lalu memecahkan satu persatu.

Isabella memandangi Jay kagum karena lelaki itu dengan mudahnya memecahkan telurnya dengan rapi tanpa ada retakan yang ikut masuk ke dalam adonan. "Woah ... kau hebat sekali. Kenapa kau tidak jadi koki di rumahku saja?" tanyanya.

"Keterampilan memasakku tidak sebaik yang kau kira, ini hanya sedikit di atas rata-rata." Jay mengambil toples berisi gula. "Masukan ini setengahnya," perintah lelaki itu.

"Siap." Isabella menyendokkan gulanya beberapa kali dan menuangkannya ke mangkuk besar.

Setelah semua bahan sudah masuk ke mangkuk besar, Jay mengaduknya menggunakan sendok kayu. Cukup melelahkan karena ia jarang memasak masakan yang mengharuskan dirinya untuk mengaduk.

Noh AWhere stories live. Discover now