14

215 60 16
                                    

Dari hari ke hari hubungan Isabella dengan Jay semakin membaik. Tidak ada lagi Jay yang bersikap ketus dan dingin walaupun perkataannya yang sangat realistis masih pemuda itu lontarkan setiap mereka berbincang.

Yang paling berbeda dari lelaki itu adalah senyumnya yang selalu terpampang setiap saat. Meskipun terlihat kaku, Isabella tetap menyukainya dan tidak akan keberatan jika harus memandangi senyum itu selama 24 jam.

"Jay apa kau mau ikut aku pergi ke kandang Cheval?" ajak Isabella.

Jay yang sedang melahap kukis yang tersisa pun mengangguk. "Ayo," ucapnya lalu beranjak dari sofa dan berjalan bersama perempuan itu keluar rumah. Kali ini penampilan Isabella sedikit berbeda. Rambutnya yang panjang diikat sehingga menyerupai ekor kuda.

Mereka berjalan menyusuri hutan beriringan. Walaupun tidak ada yang membuka suara sama sekali tidak membuat suasana menjadi canggung. Isabella melangkahkan kakinya dengan perasaan yang riang. Entahlah, melihat perubahan sikap pemuda di sampingnya membuat rasa bahagia memenuhi benaknya.

Diam-diam perempuan itu melirik ke arah Jay yang sedang berjalan sembari memandangi pepohonan besar. Perlahan ia mendekati pemuda itu sampai di mana tangannya beradu dengan tangan si pemuda. Dengan senyum yang penuh arti Isabella memberanikan dirinya untuk menautkan jari jemarinya dengan milik Jay.

Lantas pemuda itu menoleh dengan mata yang melebar. "Kau ...." Mata mereka berdua bertemu. Jay bisa melihat wajah Isabella yang tersipu tetapi berusaha untuk terlihat biasa saja. Sedangkan dirinya? Tidak usah ditanyakan, wajahnya sudah tidak bisa terkontrol saking terkejutnya.

"Aku takut tergelincir, semalam kan hujan," ujar Isabella beralasan. Padahal dirinya tidak takut sekalipun akan tergelincir.

"Baiklah kalau begitu." Jay tidak merasa keberatan jika harus menggenggam tangan kecil Isabella untuk waktu yang lama. Kalau bisa, ia ingin menggenggam tangan itu selamanya.

Dengan tangan yang bertaut mereka lanjut berjalan menuju kandang kuda kesayangan Isabella dan Jay. Setiap mereka melangkah rasanya seperti ada bunga-bunga yang menghiasi perjalanan mereka, kicauan burung terdengar seperti menemani mereka.

"Haa ... kau sudah sangat besar ya, Cheval," ucap Isabella sambil berjalan masuk ke dalam kandang kuda itu lalu mengelus tubuhnya pelan dan penuh kelembutan.

"Kau ini sudah seperti orangtua Cheval saja," gurau Jay.

"Aku memang ibunya Cheval dan juga kudaku yang di istana, Dhaival," balasnya bangga.

"Hebat sekali seorang ibu bisa mengurusi kedua anaknya yang bahkan bukan manusia," ujar Jay terdengar seperti menyindir.

"Memang, tapi Cheval lebih beruntung dibanding Dhaival."

"Kenapa begitu?"

"Karena Cheval memiliki ayah sedangkan Dhaival tidak," jawab Isabella.

"Memang siapa ayahnya Cheval?"

"Kau."

Lagi dan lagi perempuan itu membuat Jay terdiam seribu kata. Apakah tidak bisa perempuan itu membiarkan jantungnya istirahat untuk sebentar saja? Padahal tidak ada yang spesial dari ucapan Isabella, tapi entah kenapa jika dipikirkan lebih lanjut malah membuat semburat merah muncul di pipi pemuda itu.

"Kenapa kau diam saja? Apa aku salah?" tanya Isabella. Ia bisa melihat wajah pemuda di sampingnya yang memerah, tapi ia benar-benar tidak paham apa yang salah dengan kata-katanya.

"Aku manusia, bukan kuda," balas Jay.

"Aku tahu itu, kan hanya ibaratnya saja."

Disaat dua insan ini sedang asyik bergurau, suara pintu kandang yang dibuka paksa membuat mereka sontak menoleh ke sumber suara. Begitu melihat apa yang menyebabkan keributan terjadi di pintu kandang, Isabella lantas memeluk lengan Jay seerat mungkin. Pemuda itu juga memberi kode agar perempuan itu tetap berada di belakangnya.

Seorang lelaki dengan pakaian khas bangsawan bernuansa putih berdiri di depan pintu itu. Perlahan ia melangkah dengan percaya diri mendekati Jay dan Isabella. Senyum penuh arti yang terlihat menyeramkan di mata Isabella membuat kedua kaki perempuan itu gemetar.

"Jay ...," lirih perempuan itu. Jay menggenggam tangan perempuan itu erat demi menenangkannya.

"Tidak sia-sia saya pantang menyerah untuk mencari Putri Isabella walaupun berita sudah menyatakan kepergiannya. Ternyata saya masih bisa bertemu dengan sang putri di gunung ini."

Yang berbicara panjang lebar tadi adalah Pangeran Ethan dari Kerajaan Izles. Pada akhirnya lelaki itu sendiri yang menemukan tempat persembunyian Isabella.

Ethan ingin meraih Isabella tetapi dengan cepat Jay halangi. "Jangan dekati dia," tegas pemuda itu dengan tatapan yang sangat tajam dan menusuk.

"Kau ini siapa? Dari penampilanmu sepertinya kau bukan keturunan bangsawan," ujar Ethan setelah menilai penampilan Jay. Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar, Jay bukanlah seorang bangsawan. "Tunggu apa lagi? Ayo kembali ke istana bersamaku, Tuan Putri," ajak pemuda keturunan kerajaan itu lalu mengulurkan tangannya ke arah Isabella.

Jantung Isabella benar-benar berdegup kencang. Rasa cemas dan takut bercampur menguasainya. Ia tentu tidak mau kembali ke istana apa lagi jika bersama Ethan, pangeran licik yang berniat untuk mengambil alih kuasa kerajaannya.

"Aku tidak mau," balas Isabella.

Pemuda itu berdecak sebal. "Kembali ke istana bersamaku sekarang atau aku akan menghabiskan pemuda yang kau genggam erat tangannya," ancam Ethan sambil mempersiapkan pedangnya.

Mata Jay dan Isabella membelalak. Isabella tahu bagaimana kejamnya Ethan tetapi lelaki itu tidak pernah menunjukkannya secara langsung. Saat itu juga mata Isabella berkaca-kaca saking takutnya. Apa jadinya jika Jay dan dirinya harus berpisah? Membayangkannya saja sudah membuatnya frustrasi.

"Aku bisa saja membuat berita kalau Putri Isabella diculik oleh seseorang dan Raja Benjamin pasti akan menjatuhkan orang yang menculik anak kesayangannya ke penjara bawah tanah," ujar Ethan.

Jay masih bernapas dengan tenang tetapi matanya memasang tatapan waspada, sedari tadi otaknya tak berhenti berpikir mencari celah untuk melarikan diri atau setidaknya memastikan Isabella akan baik-baik saja walaupun tidak ada dirinya.

"Baiklah, kau bisa membawa Isabella pulang."

Napas Isabella tercekat mendengar kalimat Jay. Perempuan itu tidak paham apa yang pemuda itu rencanakan. Bukankah seharusnya Jay melindunginya dari Ethan? Kenapa ia malah dengan mudahnya membiarkan pangeran Kerajaan Izles itu untuk membawanya pergi?

"Jay? Kenapa ...?" lirih Isabella. Wajahnya terlihat sangat pasrah sekaligus kecewa. Ia merasa seperti sedang dikhianati oleh seseorang yang ia anggap akan selalu ada untuknya.

"Kita akan bertemu lagi nanti, aku janji akan menjemputmu kembali. Sekarang kau ikut dia dulu, aku akan mengatur semuanya," ucap Jay berbisik. Bukannya ia tega membiarkan Isabella pergi bersama seorang pangeran yang licik itu, tetapi ia sudah memiliki rencananya sendiri.

"Baiklah, ayo pulang, Tuan Putri, pasti raja dan ratu sangat senang melihatmu kembali hidup dan menikah bersamaku," ucap Ethan lalu mengulurkan tangannya kembali kepada Isabella. Perempuan itu mau tidak mau membalas uluran tangan itu dan melangkah pergi keluar dari kandang Cheval meninggalkan Jay sendirian.

Memandangi punggung Isabella yang semakin lama semakin menjauh membuat hati pemuda itu terasa seperti tersayat. Apakah ia bisa bertemu kembali dengan Isabella? Apakah ia bisa menyingkirkan Ethan dari Kerajaan Belamour walaupun dirinya hanyalah rakyat biasa?

Pemuda itu berjalan menghampiri Cheval lalu memandangi wajah kuda itu sama seperti saat Isabella memandangi Cheval. "Karena aku ayahmu, jadi kau harus membantuku, ya?"

《《《 》》》

《《《 》》》

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.
Noh AOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz