32

184 45 0
                                    

"Sikat gigi?"

"Sudah."

"Handuk?"

"Sudah."

Isabella membaca daftar yang sedang ia pegang sekarang yang berisi barang-barang pribadinya untuk dibawa ke istana milik Ethan nanti. Hanya karena dirinya kalah bermain gunting, batu, kertas, ia harus menerima hukuman yaitu tinggal bersama Ethan di Izles.

Isabella melirik ke arah Ethan yang tengah memaksa koper miliknya untuk tertutup. "Hei! Kau ini seperti hewan saja," tegurnya. Bagaimana jika koper miliknya rusak karena dipaksa tertutup? Ethan memang sangat bodoh.

"Seharusnya kau berterima kasih padaku karena sudah membantumu mengemasi barang. Kau pikir yang menata semua barang ini supaya masuk ke dalam koper siapa? Hantu?" tanya Ethan angkuh. Tapi Isabella tidak mengindahkan perkataannya dan lanjut membaca daftar yang sebenarnya lelaki itu tulis secara dadakan pagi tadi.

Ia paham betul apa yang ada di pikiran Isabella. Saat mereka sepakat untuk tinggal di Izles dan mengatur tanggal keberangkatan, perempuan itu akan pura-pura lupa dan tidak mempersiapkan apa pun hingga tiba waktu di mana mereka akan pergi.

"Mana topi hitam milikku?" tanya Isabella setelah melihat gantungannya yang kosong melompong tanpa benda apa pun yang bergantung di sana.

"Sudah aman di dalam koper," balas Ethan malas.

"Bodoh! Kalau topinya rusak bagaimana? Kau tidak tahu seberapa berharganya topi itu?" tanya Isabella bertubi-tubi.

Ethan menghela napasnya, bukannya mendapatkan ucapan terima kasih lelaki itu malah mendapatkan cacian. "Seharusnya kau bilang padaku jika tidak ingin menaruhnya di dalam koper." Ia membuka kembali kopernya dan mengeluarkan sun hat hitam kesayangan Isabella.

"Lagipula apa pentingnya topi itu? Kau bisa membelinya lagi jika rusak."

Isabella mendengus kesal. "Kau tidak akan pernah mengerti." Ia menyambar sun hat hitam yang tergeletak di lantai dan memeluknya bagaikan anak sendiri. "Kalau semua sudah siap tolong taruh di dalam mobil, terima kasih," ucapnya lalu pergi meninggalkan kamarnya.

Ia menghampiri kamar adiknya, tangannya mengetuk pintu kayu itu beberapa kali hingga akhirnya sang pemilik kamar membukanya. "Hai, William," sapanya dengan senyum hangat.

"Kakak? Ada apa? Apakah mau mengambil sesuatu yang ada di sini?" tanya William.

Isabella menggeleng pelan. "Tidak. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu sebelum aku pergi memangnya kau tidak sedih aku akan meninggalkanmu?" tanya Isabella, bola matanya berbinar menunggu jawaban dari adiknya.

William menatap Isabella jahil. "Hm ... sedih atau tidak ya?" tanyanya, tangannya menangkup dagunya dan alisnya bertaut seolah sedang berpikir keras.

"Ha ... kau ini. Sudah ayo masuk." Isabella menarik lengan William dan masuk ke dalam kamar lelaki itu. Ia duduk di atas buntalan besar yang diisi dengan butiran styrofoam kecil. "Bagaimana sekolahmu? Apakah menyenangkan?" tanya Isabella.

William duduk menghadap Isabella di atas kasur dan menyilangkan kakinya. "Sangat-sangat menyenangkan," ucapnya bangga. "Aku mendapatkan nilai sempurna di mata pelajaran sains, sangat hebat, bukan?" tanyanya sambil menaikturunkan alisnya.

Karena tidak pernah bersekolah formal seperti anak muda kebanyakan, Isabella tidak begitu paham apa saja yang dipelajari dalam mata pelajaran sains, tapi dari namanya saja sudah terdengar sangat keren, ia yakin William adalah penerus Kerajaan Belamour yang dapat dipercaya. Dengan kepintarannya, Belamour akan semakin maju.

"Kakak," panggil William. Isabella pun menaruh perhatiannya kepada sang adik. "Apa Kakak benar-benar mencintai kak Ethan?"

Dari semua pertanyaan, kenapa William memilih menanyakan hal itu? Isabella tidak ingin merusak suasana yang sedang bagus hari ini, tapi ia juga tidak ingin membohongi perasaannya.

Noh AWhere stories live. Discover now