33

169 46 1
                                    

"Selamat datang di Izles, Isabella." Ethan membantu perempuan itu turun dari mobil dan menginjakkan kaki di istana kebanggaannya.

Istana Izles tidak jauh berbeda dengan Belamour, hanya saja warna bangunannya sedikit lebih gelap dibanding Belamour yang dominan dengan warna putih dan kuning keemasan. Walaupun didominasi dengan warna coklat tua, bangunan tinggi itu tetap indah dipandang.

Beberapa pelayan istana berdiri berbaris untuk menyambut istri dari pangeran Izles. Isabella menebarkan senyum ramahnya kepada mereka semua. Ia dan Ethan berjalan masuk ke dalam dan mulai menyusuri lorong menuju ruang singgasana.

Mata Isabella tidak lepas dari banyaknya bingkai lukisan yang menempel di tembok lorong istana. Ia tidak tahu apa gambar yang terdapat pada semua lukisan itu tetapi yang ia tahu pasti, semua lukisan di sana sangat indah dan memiliki arti yang dalam.

"Bagaimana?" tanya Ethan menginterupsi Isabella yang tengah mengagumi lukisan-lukisan miliknya.

"Apanya yang bagaimana?" balas Isabella.

"Sepertinya kau sangat menyukai semua lukisanku benar begitu?" goda Ethan dengan senyum penuh artinya.

"Tidak. Aku hanya terkejut karena semua foto di sini dilukis langsung. Berbeda dengan foto-foto di rumahku," bantah Isabella dingin.

Beberapa langkah lagi mereka tiba di ruang singgasana. Di sana terdapat kursi dengan sandaran yang sangat tinggi dan mewah. Raja Benedict dan Ratu Laurel duduk di sana, aura bangsawannya sangat terasa kuat, bahkan Isabella seketika merasa kalau dirinya hanyalah rakyat biasa.

"Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba." Ratu Laurel berdiri dan mengangkat gaun merah marunnya untuk berjalan menghampiri sang putri. "Selamat datang, Isabella," sambutnya ramah.

"Terima kasih, Yang Mulia," balas Isabella lalu membungkuk tanda hormat kepada sang ratu.

"Panggil ibu saja, sekarang kamu adalah anak kami juga," koreksi Ratu Laurel, ia menyisir rambut panjang Isabella dengan jari jemarinya perlahan layaknya menyisir rambut anak sendiri.

"Ah ... baik, Ibu." Lagi-lagi Isabella menunduk sedikit lebih rendah.

"Bagaimana perjalanannya? Pasti sangat melelahkan," timbrung Raja Benedict.

Isabella tersenyum kikuk, sejujurnya ia tidak ingat bagaimana perjalanan tadi karena ia yang ia lakukan hanya tertidur pulas. "Ya seperti itu," ucapnya pelan.

"Kalau begitu lebih baik kalian beristirahat dulu. Kami akan menyiapkan makan siang nanti," ujar Raja Benedict dengan tangan kanan yang mengarahkan Isabella menuju kamarnya.

Para pelayan di belakangnya siap membawa barang-barang perempuan itu menuju kamar. Dengan langkah yang berhati-hati perempuan itu berjalan menuju kamarnya. Sebenarnya Isabella tidak terlalu lelah, tapi tidak apa, ia ingin mengetahui seperti apa kamarnya.

Pintu dibuka, megahnya kamar Isabella membuatnya menganga tidak percaya. Saking banyaknya properti di sana hingga Isabella tidak tahu harus fokus ke bagian yang mana. Kasurnya yang super duper besar serta sofa dan televisi di depan kasur. Ini lebih dari apa yang Isabella bayangkan.

"Woah ...," decaknya sembari melangkah masuk ke dalam kamar itu. Ia menghampiri meja rias yang terletak tepat di sebelah kasur. Melihat pantulannya dari kaca bulat itu membuatnya ingin memekik bahagia entah kenapa.

Ia mendongakkan kepalanya ke atas, mendapati langit-langit kamar yang berlukiskan awan dan lampu kaca yang terlihat mewah dan elegan. Jika disuruh untuk tinggal diam seharian di kamar ini pun Isabella sanggup.

Noh AWhere stories live. Discover now