29. Ibu mertua 🌾

3.7K 321 22
                                    

Happy Reading;))
•••

Mendengar Aisyah sudah sadar, pagi ini kamarnya sudah dipenuhi oleh semua keluarga baik dari orang tuanya maupun mertuanya. Bahkan Ning Haura yang dari Malang datang kesini setelah mendengar Aisyah telah sadar.

Ning Haura bahkan kesal dengan Gus Hanan, saat sampai di sini, ia ingin sekali memeluk Aisyah tapi justru dilarang oleh Gus Hanan dengan alasan kalau Aisyah tidak boleh banyak bergerak dulu padahal dirinya selalu menempel dan tak pernah melepaskan pelukannya pada Aisyah.

“Umi, lihat tuh Gus Hanan. Masa iya Haura mau meluk Aisyah aja dilarang sih? Cuman meluk doang nggak Haura ajak kemana-mana kok,” adu Ning Haura pada Uminya.

Melihat itu, para orang tua hanya bisa tertawa, Ning Haura yang ingin memeluk Aisyah tapi dilarang oleh Gus Hanan. Laki-laki tak membiarkan adiknya memeluk istrinya.

“Ini istri Abang, Ra. Nggak boleh ada yang meluk dia selain abang,” ucap Gus Hanan membuat Ning Haura cemberut.

“Tadi aja Bunda, Umi sama Ayah meluk Aisyah tapi kenapa aku dilarang, Abang emang nggak adil sama Adiknya sendiri, hikss.” Ning Haura memalingkan wajahnya karena kesal.

Aisyah hanya bisa mengulum senyumnya melihat tingkah Ning Haura dan Gus Hanan. Entah mengapa mereka benar-benar menggemaskan dimata Aisyah, ia jadi tiba-tiba teringat akan anaknya. Kepala Aisyah tertunduk, matanya menatap ke arah perutnya, tangannya juga ikut mengusap pelan permukaan perutnya yang tertutup baju pasien.

Andaikan saja anaknya masih ada pasti dia akan menjadi wanita yang paling bahagia, penantiannya selama ini berakhir dalam sekejap mata.

Gus Hanan yang berada di dekatnya ikut menoleh, raut wajah yang ditunjukkan oleh Aisyah membuat semua yang berada di ruangan itu jadi khawatir.

“Syah,” panggil Gus Hanan melihat Aisyah melamun. “Syah, hey. Aisyah.”

Aisyah tersadar. “Eh iya, a'. Kenapa?” tanyanya, ia bahkan tak sadar kalau pipinya kembali basah dengan air mata. Melihat pipi Aisyah yang basah, Gus Hanan mengusapnya dengan sayang.

“Jangan melamun, jangan banyak pikiran. Ingat kata dokter tadi, kamu harus banyak istirahat jangan mikir yang aneh-aneh. Kita semua ada buat kamu, aku, Bunda, Ayah, Umi dan Abi juga. Ada Abidzar juga, kamu nggak sendirian, Syah.” Aisyah mengangguk.

“Bener kata Hanan, Nak. Bunda sama Ayah disini sama kamu, Umi sama Abi juga. Semuanya ada buat kamu, kamu harus sembuh, kita semua sayang sama kamu, Syah.” Hafshah ikut menimpali, dia berdiri disamping brankas Aisyah dan memeluk erat putrinya tersebut. Umi Sarah juga ikut memeluk Aisyah, menguatkan sang menantu agar cepat sembuhnya.

“Makasih Bunda, Umi. Makasih karena selalu ada buat Aisyah, Aisyah juga sayang sama bunda sama umi,” lirih Aisyah memeluk kedua wanita yang ia sayangi itu.

Aisyah beruntung mempunyai bunda seperti Hafshah yang selalu ada dan selalu mendukung dirinya saat susah maupun senang, dia juga beruntung memiliki mertua seperti Umi Sarah. Wanita itu tak pernah menuntut apapun padanya, dia menerima Aisyah sebagai menantunya dengan segala kekurangan yang Aisyah miliki.

“Yang dipeluk yang itu-itu aja,” sindir Ning Haura. Wajahnya sudah terlihat suram, hanya dirinya yang belum diizinkan memeluk Aisyah.

Hafshah dan Umi Sarah hanya bisa terkekeh, mereka berdua kompak menjauhkan dirinya dari Aisyah dan membiarkan Ning Haura untuk memeluk Aisyah.

“Sini, Ra. Peluk,” panggil Aisyah. Ia sudah merentangkan tangannya ke arah Ning Haura, bersiap untuk menerima pelukan dari saudara iparnya tersebut.

H A N A N  &  A I S Y A H  [END]Where stories live. Discover now