TUJUH : Ugal-ugalan

Start from the beginning
                                    

TAPI MUKANYA JO NGAJAK BERANTEM!

Aku jadi tidak mau kalah sampai lagi dan lagi menaikan kecepatan, dia juga begitu, hingga kami berdua lupa kalau ada tikungan empat tepat di depan. Bukan lagi tentang angin pagi yang sejuk membelai kami, tapi kami yang menabrak angin hingga bukan cuma ujung jaket saja yang berkibar brutal, tapi tubuh Jo juga. Ia mengudara saat terlepas dari motor yang menghantam mobil di depannya. "JO!" Bahkan karena kaget aku juga terjatuh di tepian jalan, hanya kecelakaan tunggal, berbeda dengan Jo yang mampu menyebabkan cairan merah tercetak di jalanan aspal.

"Jo!" Aku berusaha bangkit, ingin menghampirinya tetapi 'tak mampu. Dalam keadaan panik, aku menangis dengan berulang kali meneriakkan namanya. Kakiku nyeri, terasa seperti patah tapi tetap kupaksa untuk bergerak, hasilnya justru membuat area tersebut terasa parah.

"Andira!" Anan datang terburu-buru dan berjongkok di depanku, melihat bagaimana kacaunya aku sekarang membuatnya langsung memegang kedua bahu yang bergetar ini. "Kaki lu lecet," katanya.

"Anan  ... tolongin Jo! Cepet tolongin dia sekarang, Anaaannn." Begitu kataku merengek sambil mendorong tubuhnya, lantas Anan melepas kemeja putihnya dan menutupi bagian kakiku yang berdarah. Kemudian ia berlari ke arah kerumunan yang menggerombol di sekeliling tempat Jo tergeletak, satu hal yang kutahu sebelum ambulan datang, bagian kepalanya berdarah.

Maka kejadian hari ini, ada sesal yang tidak akan kulupakan seumur hidup.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Lima hari sudah Jo tidak di rumah alias bermalam di rumah sakit yang mengurus luka seriusnya, sedangkan aku perlu waku tiga hari untuk tidak sekolah karena kaki yang memar —nyatanya terkilir juga. Ini saja kalau berangkat tidak sendiri, Anan yang harus menanggungku selama pemulihan berlangsung. Setelah Kak Novan yang membantu berjalan untuk menghampiri motornya di depan rumah, maka Anan harus siap mental menghadapi sahabatnya ini.

"Udah?" tanya Anan.

Aku mengangguk, lalu menerima jaket yang lagi-lagi ia berikan. Padahal jaket lepisnya kemarin belum kukembalikan. "Jaket lu yang kemarin ada di rumah, bisa gue ambil dulu  ...."

"Lu udah naik ke motor gimana mau ngambilnya? Ngesot?"

Aku hanya cengengesan lalu tidak membahas hal itu lagi. "Eh seragam putih lu  ...."

"Pegangan." Anan memotong bicaraku dengan menghidupkan mesin motor, lalu kupegang ujung kain seragamnya hingga ia tampak menghela napas. "Lu bakal jatoh kalo megangnya gitu doang, Dir. Atau lu sengaja mau jatoh lagi?" tanyanya.

"Loh terus pegang yang kek gimana maksud lu, Anan?" tanyaku bingung.

"Peluk perut gue."

"Anjer, ngarep lu?"

"Posisi lu duduk gak kek biasanya, woey lah!"

"Ya aneh banget kalo gue ngalungin tangan di perut lu."

"Andira." Anan mematikan motornya lalu membuatku fokus untuk mendengarkan. "Sahabat lu itu gue atau Jondara sih?" ujarnya memberi pertanyaan yang terdengar aneh di telingaku.

"Kok lu ngasih pertanyaan gitu? Lu berdua sahabat gue," jawabku.

Anan tampak tertawa, tapi seperti tawa yang terdengar tidak terima akan ucapanku sebelumnya. "Sejak kapan dia gantiin posisi gue?" tanyanya.

MAMPU✓ Where stories live. Discover now