21⸙ᰰ۪۪ Terima Kasih

7 0 0
                                    

Galuh diam seribu bahasa. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Dirinya bahkan tidak ingin menduga hal seperti itu terjadi. Sisi rumah menjadi hening ketika ia dan Raka sampai. Tidak ada suara atau apa pun selama beberapa menit. Bahkan kalimat selamat dating atau ganti baju juga tidak terdengar. Malah suasana terasa sedikit canggung.

"Keliling, yuk." Suara berat itu sangat dikenali olehnya. Pria paruh baya dengan kemeja berwarna putih itu menatap Galuh seperti sosok orang tua yang sudah sangat merindukan anak semata wayangnya.

Setelah meletakkan tas-nya dan mengenakan kaos oblong, Galuh ikut keluar bersama ayahnya. Pria paruh baya itu tidak banyak berbicara, tapi kelakuannya sudah seperti menghapal titik letak perdesaan. Ia bahkan sesekali menyapa para warga desa dengan senyuman miliknya yang super tipis itu.

"Kenapa Ayah ke sini?" Galuh mengeluarkan suara, sangat dingin, layaknya seorang anak yang tidak sedikit pun merindukan keluarganya.

Mereka berhenti di depan ladang jagung milik salah satu warga desa. Di tengah-tengah ladang terdapat manusia sawah yang sengaja dipajang untuk menghindari gagak-gagak yang akan merusak ladang itu. Beberapa kali mereka berpapasan dengan warga desa yang membawa cangkul mereka. Beberapa menit lagi waktu azan magrib akan berkumandang, membuat para warga mengakhiri kegiatan mereka.

"Ayah dengar dari Atukmu, kamu mau melukis meskipun sudah dilarang dan dibawa ke desa ini? Kenapa kamu senekat ini?"

Galuh mengacak-acak rambutnya, mengerti arah pembicaraan itu. "Lima belas kanvas, sepuluh kuas, dua belas cat, dan lima palet. Setelah semua jumlah barang yang Ayah buang, apakah dengan pindahnya Galuh pindah ke desa akan membuat Galuh berhenti?"

"Harapan Ayah begitu."

Galuh menggeleng pelan. "Ayah salah besar. Justru ketika di desa ini Galuh lebih milih buat melukis. Banyak pemandangan yang memancing untuk dilukis. Lalu adanya orang yang membuat semangat Galuh tidak berhenti."

Diam sejenak di antara keduanya, ayahnya, Junaidi, masih ingin menunggu anak laki-lakinya itu untuk melanjutkan kalimatnya. Pasti banyak sekali yang ingin dikatakannya, jadi ia tetap menunggu hingga Galuh selesai berbicara.

"Di sini, ada banyak anak yang bermimpi sangat tinggi. Entah karena mereka dari desa, atau bahkan ekonomi serta orang tua yang tidak mendukung, mereka hanya bisa bermimpi di alam sadar. Ayah, kita orang mampu, Galuh tahu Ayah hanya tidak suka lukisan karena ibu meninggal ketika ingin melakukan pameran lukisannya. Tapi bukan berarti hal seperti ini bisa membuat Ayah merusak mimpi Galuh. Akan Galuh bilang sekali lagi, mau seperti apa pun, Galuh akan tetap melukis. Karena di sini, Galuh bertemu seseorang yang bisa membuat Galuh tetap melukis mau dalam kondisi apa pun. Sama seperti Ayah yang mendukung Ibu yang dulu."

Kamar Raka mulai merasakan kesumukan ketika ia mau memejamkan mata. Berapa kali pun ia berusaha untuk tidur, ia tetap gagal. Pamannya yang menginap itu mau tidak mau membuatnya tetap diam tanpa protes apa pun. Dirinya berakhir membawa bantal gulingnya dan keluar dari kamarnya. Ia memilih terlelap di ruang tengah tanpa cahaya apa pun.

Galuh di dalam kamar itu juga tidak tertidur. Bukan karena ruangan yang sempit, tapi karena dirinya masih tidak mau menerima fakta jika ayahnya ada di tempatnya berteduh. Padahal baginya baru beberapa minggu ia merasakan ketenangan, kini ia harus berdebat tiap kali membahas melukis.

"Ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya Ayah yang masih tidak terima kenyataan." Junaidi kembali berbicara. Ia menatap langit-langit kamar yang bahkan tidak terlihat apa-apa. Ia tahu anak laki-lakinya masih berada di kamar itu dan belum terlelap.

"Ayah mengirimmu ke sini juga bukan tanpa maksud. Saat Ibumu tidak memiliki ide, ia mengajak Ayah kembali ke sini. Kemudian saat kembali ke kota ia datang dengan ribuan ide yang menempel pada pikirannya. Kalimat yang dia bilang juga sama. Banyak pemandangan yang memancing untuk dilukis di sini."

Galuh [Tamat]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon