∅8⸙ᰰ۪۪ Rencana

11 4 0
                                    

Dalam perjalanan pulang, Raka dan Galuh tidak terlalu banyak bicara. Setelah apa yang terjadi pada mereka di ruang seni, membuat keduanya tenggelam pada pikiran masing-masing. Raka pada ucapannya yang bisa saja merugikan dirinya dan Galuh pada usulan Tia yang bisa ia terapkan.

Cahaya matahari di senja hari menyinari mereka, perlahan mulai terbenam di sisa perjalanan mereka. Beberapa petani masih sibuk di sawah mereka, beberapa penjaga ladang juga masih sibuk mempersiapkan ladang mereka agar terhindar dari hama atau semacamnya. Dentingan dari para penjaga terus berbunyi hingga akhirnya mereka sampai di rumah.

Galuh menyusun sepatunya, begitu juga dengan Raka, kemudian keduanya masuk ke kamar dan berbaring di atas kasur.

"Hoi! Korang, mandi dulu!" Kakek mereka berseru sembari menggedor pintu.

"Yee! Kejap, lah, Tuk!" balas Raka dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Galuh menatap Raka, seolah baru saja menyimpulkan keinginan yang ingin ia sampaikan. "Akan saya ajari melukis, tapi saat di sekolah nanti, engkau harus akrab dengan saya."

Raka mengerutkan dahinya. "Kenapa pula macam tu?"

Galuh tersenyum cengir. "Karena kamu, kan, akrab banget sama murid-murid di sekolah yang totalnyaa enam kelas. Nah--"

"Tak nak. Kalau engkau nak ikutin apa yang dicakap Tia, kerjain sorang. Aku tak nak ikutan. Aku nak berbesih dulu."

Galuh melenguh panjang ketika Raka sudah keluar dari kamar. Ia mengacak-acak rambutnya, kemudian menatap pemandangan di luar kamar Raka.

Ia sudah memikirkannya setengah matang. Apa yang dikatakan oleh Tia ada benarnya. Ia memang harus mengubah dahulu pola pikir murid yang ada di sekolahnya, dengan begitu akan memudahkannya untuk mengubah pikiran ayahnya.

Galuh sejak kecil hanya bisa melukis. Ia tidak terlalu bisa melakukan kegiatan yang lain, tapi tidak dengan melukis. Mau seperti apa pun situasinya, ia tetap melukis. Melukis dan akan terus melakukannya. Ia akan melakukan apa pun hanya untuk melukis.

Ruang tengah ramai dengan suara sendok yang beradu dengan piring keramik. Tidak terlalu banyak topik pembicaraan di saat mereka sedang mengunyah makanan mereka. Sesekali pertanyaan yang keluar adalah bagaimana hari kedua remaja itu di sekolah atau bagaimana desa berjalan hari ini. bahkan pertanyaan mengenai dagangan Susi turut keluar.

"Apa aku cakap. Die pasti tetap je buat itu. melukislah sana sampai kau muak. Selama kau tak buat hal-hal buruk Atuk tak kesah," balas Diwang setelah mengetahui jika Galuh bergabung dengan ekskul seni.

"Engkau ni satu. Mau sampai kapan engkau cium bola tu? Balek-balek muka engkau macam tu," tambah Diwang saat ia terlebih dahulu menyelesaikan makannya.

"Ala, Raka ngantuk je. Itu pun nak dimarah".

Diwang menggeleng kelelahan. "Ape-ape engkaulah, Raka."

Sejak Raka kecil, bahkan bayi, Diwang sudah mengenalnya. Ia bahkan turut menjadi bagian dari tumbuh kembangnya Raka. Tidak ada satu hari yang Diwang lewatkan untuk melihat pertumbuhan bocah itu. ia sangat menyayangi cucunya itu, dan hal tersebut adalah fakta yang tidak dapat diubah. Ia memang selalu terlihat seperti marah-marah, tapi sebenarnya pria tua itu sedang mengkhawatirkan banyak hal.

Berbeda dengan Galuh, Diwang tidak terlalu mengenal bocah yang satu itu. anaknya buru-buru pindah ke kota, memisahkan hari-harinya sebagai kakek untuk anak laki-laki itu.

Diwang sudah hidup cukup lama di keluarganya. Bahkan ia masih bertahan hidup setelah kedua anaknya meninggalkannya lebih dahulu. Terkadang rasa sedih selalu menumpuk di hati dan pikirannya. Kepribadian keras itu mungkin terbentuk dari sana juga.

Galuh [Tamat]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora