13⸙ᰰ۪۪ Sekarang

2 0 0
                                    

Secara singkat Raka tahu kenapa Galuh dimarahi oleh kakeknya sendiri. Ia baru saja pulang, namun masalah keluarga sudah menyambutnya. Jika kakeknya berada di sekolah sudah dipastikan bahwa pria tua itu tahu semuanya adalah salah paham.

Raka mengacak-acak rambutnya, telinganya sangat sakit mendengar omelan kakeknya itu. Padahal bukan dirinya yang sedang dimarahi. Ia mulai bergerak, berdiri di antara keduanya. Ia menatap kakeknya itu, meminta supaya dirinya tenang sebentar.

"Malu dengar tetangga, Tuk," ujarnya pelan. Kalimat itu berhasil membuat kakeknya diam sejenak.

Diwang melangkah masuk ke dalam rumah, begitu juga dengan Raka dan Galuh. Pintu kemudian ditutup. Susi menatap tiga orang lak-laki itu, berharap semuanya sudah usai.

"Baru je Atuk cakap jangan macam-macam, Galuh."

"Galuh sudah bilang, bukan Galuh, Tuk. Kenapa Atuk nggak percaya?"

Jujur di dalam pikirannya terasa acak. Padahal ia sudah berusaha keras tidak ingin memikrkan hal tersebut mengingat banyak hal yang ingin dilakukannya. Tapi ia menjadi kesal karena kakeknya tidak kunjung mempercayai dirinya. Ia ingin berkata kasar, namun sadar hal tersebut tidak bisa menyelesaikan apa-apa.

"Atuk tau—"

"Atuk tau ape? Galuh dah cakap bukan dia. Kenapa Atuk tak mau percaya?" Raka ikut berbicara setelah pantatnya juga menyentuh lantai.

Diwang menatap Raka sebentar. "Terus siapa?"

"Raka. Lagi pula, kenapa pula Atuk nak percaya? Yang cakap budak-budak tu lagi, lah. Mukul pun tidak," balas Raka masih kesal. Ia memang tidak memukul siapa-siapa mengingat kejadian beberapa hari lalu. Ia hanya memegang tangan salah satu murid yang hampir memukul Galuh. Kemudian ia menggertak orang-orang tersebut dengan berbagai macam kalimat mengingat citra yang ia miliki di sekolah.

"Budak-budak tu pasti dendam je." Nenek Titin bergabung dala percakapan itu. Ia duduk di sebelah Diwang, menatap kedua cucunya yang saling membela diri.

Diam sejenak. Semuanya saling tatap, tapi Galuh hanya menundukkan kepalanya, berusaha mencerna kejadian demi kejadian yang ia terima.

"Mau Atuk yang bicara sama sekolah engkau?"

Galuh menegakkan kepalanya, kemudian menggeleng. "Masalah yang ditimbulkan anak-anak harus diselesaikan sama anak-anak juga. Itu yang Ayah ajarkan, Tuk."

Diwang mengangguk. "Bagus kalau engkau berpikiran demikian. Cepat selesaikan masalah tu, lebih cepat lebih baik. Atuk juga minta maaf karena tak percaya sama engkau."

Diwang kembali membuka pintu, keluar dari rumah dan segera menuju ke masjid karena suara mengaji sudah terdengar.

Galuh dan Raka saling tatap, kemudian Galuh tersenyum. "Terima kasih."

***

Lagi-lagi Galuh tidak bisa tidur dengan cepat. Entah karena perbedaan cuaca atau semcamnya, ia sangat kesulitan untuk masuk menuju mimpi seolah-olah portal mimpi menolaknya. Matanya tertuju pada Raka yang tertidur sangat nyenyak seperti mendapatkan mimpi terbaik musim ini.

Galuh menggerakkan tubuhnya, mengambil buku sketsa yang berada di dalam tas-nya. Kemudian ia duduk di kursi dan menyalakan lampu teplok yang ada di meja belajar milik Raka. Ada banyak buku yang berserakkan di atas sana. Raka berusaha belajar lebih keras dari yang ia tahu.

Tangannya mulai meapikan buku buku tersebut, menyusun berdasarkan jenisnya. Kemudian ia sendiri memulai aktivitas di malam harinya.

"Ayah udah bilang jangan melukis, Galuh!"

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now