20⸙ᰰ۪۪ Fokus

5 0 0
                                    

Sejuknya angin yang bertiup di sela-sela jendela membuat ruang tengah terasa lebih dingin saat makan malam telah tiba. Tidak ada suara berisik selain detakan jam yang menemani lima anggota keluarga itu.

Beberapa kali obrolan dibuka, kemudian berakhir kembali pada kesunyian. Diwang sudah mendengar mengenai Galuh yang akan mengikuti lomba dari nenek Titin. Kakek tua itu tidak merespon apa-apa, bahkan memberikan semangat. Ia hanya mengatakan, "engkau dah dewasa, mestinya tau mana yang baik dan buru, Atuk tak akan melarang ape-ape."

Banyak hal yang membuat Galuh kembali memikirkan apa yang dilakukannya. Meskipun ia mengerti dengan jelas apa yang dikatakan oleh kakeknya itu, ia tetap memikirkannya kembali. Ada beberapa maksud ia masih memiliki niat besar untuk melukis, tapi ada beberapa lagi untuk menghentikan niatnya itu, yakni ayahnya sendiri.

Apa benar ayahnya akan senang? Apa benar ayahnya tidak akan menyita alat lukisnya lagi? Padahal dirinya sudah mendaftarkan diri dan meyakinkan dirinya sejak awal memijakkan kaki di desa itu, ia tidak menyangka akan kembali ragu untuk melangkah.

"Galuh?"

Sang pemilik nama menoleh ke asal suara. Di sana sudah ada seorang gadis yang menatapnya penuh penasaran karena sejak ia memanggil tidak ada respon sedikit pun. Lima menit lagi waktu istirahat akan berakhir. Gadis dengan jepit rambut khasnya itu berniat menyadari pemuda berambut ikal itu dari lamunannya.

"Ya?" jawab Galuh sedikit kaku. Ia menjaga jarak dari Retno saat menyadari betapa dekatnya mereka.

Retno mengerutkan dahinya. "Beberapa waktu ni awak sering melamun lah. Pikirkan apa?"

Galuh menggeleng pelan. Ia meletakkan kuasnya, kemudian membersihkan beberapa barang yang ia keluarkan sebelumnya. "Bukan hal yang penting."

Galuh yang baru saja memegang gagang pintu menghentikan kegiatannya itu. ia kembali menatap Retno. "Nanti sore berarti penyelesaian?"

Retno mengangguk, matanya tertuju pada dua kanvas yang terletak di belakang ruangan yang hampir mendekati tempat penyimpanan. Tinggal beberapa sentuhan lagi, maka lukisan itu akan selesai.

Galuh mengangguk mengerti. "Baiklah, terima kasih."

Kakinya membawa dirinya keluar dari ruang seni itu, tidak ingin berbicara lagi. Di dalam hatinya ia merasa tidak puas dengan hasil lukisannya sendiri. Ia merasa kurang, tapi ia tidak merasa bisa menambahkan apa-apa lagi. Sudah seminggu dirinya merasa begitu. Dalam jarak waktu yang sangat sedikit untuk penyeleasaian akhir ia tidak ingin bunuh diri dengan konsep baru dan melukis dalam waktu yang sangat terbatas.

Dirinya benar-benar merasa terganggu.

Dalam kelas yang terus disinari oleh cahaya matahari, membuat Galuh mau tidak mau tetap menatap papan tulis. Jika ia ingin tidur di kelas, cahaya itu hanya mengganggunya dari balik kelopak mata yang sudah tertutup.

Beberapa siswa memperhatikan guru sosiologi yang tengah menjelaskan materi, beberapa sibuk mengerjakan pekerjaan rumah yang lain, dan beberapa lagi sibuk sendiri. Galuh termasuk orang yang memperhatikan dan sibuk sendiri. Meskipun matanya tertuju pada papan tulis, tapi pikirannya berada di tempat lain.

Materi yang dijelaskan lolos dari pikirannya, tidak ada satu pun yang menempel, hingga akhirnya fokusnya sendiri yang pecah ketika bel pergantian jam berbunyi. Saat ini, ia merasa gagal sendiri.

Perhatian Galuh kemudian berubah. Raka, Tia, serta Daffa menatap dirinya, membuat matanya mau tidak mau menatap mereka bertiga, menunjukkan tatapan penuh penasaran kenapa mereka mendekatinya.

"Hari ini hari terakhir, kenapa awak macam tak nak buat sesuatu?"

"Nyerah pun."

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now